Pemerintah Optimistis Bisa Tekan Konsumsi BBM
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, membengkaknya subsidi BBM lantaran terpukulnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Akibatnya, pemerintah pun mengubah asumsi rupiah pada tahun depan.
"Awalnya kami optimistis rupiah di kisaran Rp 9.750 per dolar AS tahun depan. Namun, melihat kondisi perekonomian saat ini, nilai tukar rupiah pun disesuaikan menjadi Rp 10.500 per dolar AS," jelasnya.
Padahal, asumsi harga ICP (Indonesian Crude Oil Price) justru menurun. Asumsi harga ICP "yang diputuskan untuk tahun anggaran 2014 adalah USD 105 per barel. lebih rendah baik dari asumsi APBNP 2013 yang sebesar USD 108,0 per barel, dan RAPBN 2014 sebesar USD 106 per barel. Namun, itu tak bisa menutup perbedaan asumsi kurs dollar yang tinggi. Hal tersebutlah yang menyebabkan pemerintah mencoba menekan kuota BBM.
Sayangnya, keyakinan pemerintah tampaknya dinilai tak masuk akal oleh pengamat. Salah satunya, Wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Menurutnya, niat pemerintah untuk menekan konsumsi BBM tahun depan kemungkinan besar gagal. Pasalnya, ada salah satu program pemerintah yang sangat kontradiktif dengan upaya tersebut. Yaitu : program produksi massal low cost green car (LCGC).
"Saya memang mendukung upaya pemerintah untuk menekan subsidi. Di sisi lain, saya juga tidak anti subsidi. Subsidi itu perlu bagi yang memang membutuhkan. Tapi, kalau sudah kontradiktiv seperti ini rasanya konyol," jelasnya.
Pendapat tersebut, lanjut dia, datang dari pasar LCGC yang mengincar masyarakat kelas bawah. Hal tersebut tentu saja bakal meningkatkan konsumsi BBM, terutama premium, secara besar-besaran. "Mobil untuk orang kaya pun masih ada yang isi premium. Sekarang bayangkan kalau yang punya mobil masyarakat kelas bawah, sudah pasti pakai premium," terangnya.(gal/bil)