Pemimpin dan Idealisme Keagrariaan
Prinsip fungsi sosial ini ditopang dengan beberapa pasal teknis lain. Pada Pasal 7 dinyatakan bahwa “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Kemudian Pasal 9 ayat 2, menyatakan, “Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”
Pasal 17 lebih lanjut mengamanatkan pengaturan luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum, di dalam waktu yang singkat, dan tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Pengaturan mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan atas tanah merupakan unsur penting dari kepastian arah menuju keadilan sosial tersebut. Maka, walaupun UU Pokok ini tidak bisa mendefinisikan batasan itu dengan jelas, mandatnya untuk adanya peraturan perundangan baru guna mengatur batas kepemilikan dan penguasaan tanah pun segera dieksekusi pada tahun itu juga. Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang merupakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang kemudian ditetapkan, yang memuat pengaturan mengenai batas maksimum kepemilikan tanah.
Memang sampai dengan penetapan UU 56/1960 ini dan setelahnya kita mencatat beberapa keterbatasan dalam regulasi keagrariaan. Pertama, yang paling sederhana yang sudah dinyatakan oleh banyak ahli adalah bahwa pengaturan mengenai batas minimal luas kepemilikan tanah merupakan pengaturan yang tidak realistik. Stok lahan yang terbatas, sementara di sisi lain jumlah penduduk terus bertambah, memberikan kemungkinan yang terlalu sedikit untuk memastikan kepemilikan seluas 2 hektar untuk seorang petani atau satu keluarga petani.
Sampai hari ini, justru banyak sekali keluarga tani yang sulit memiliki lahan bahkan 0,5 hektar. Karena itu jalan keadilan sosial di luar jalan keagrariaan bagi petani gurem atau buruh tani harus disiapkan dengan baik. Akses Pendidikan untuk keluarga tani gurem agar anak-anak mereka tidak lagi bersandar pada lahan pertanian merupakan jalan yang harus diupayakan dengan serius.
Kedua, UU 56/1960 baru mengatur batas maksimum lahan untuk hak milik, dan tidak mengatur batas maksimum penguasaan tanah untuk hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pemanfaatan hasil hutan, dan jenis-jenis hak atas tanah lainnya. Dan setelah undang-undang ini, tidak ada undang-undang lagi yang mengatur pembatasan luas maksimum penguasaan tanah tersebut. Dengan demikian, maka tersedia kemungkinan yang terlalu lebar bagi siapapun juga pemimpin untuk menyalahgunakan wewenangnya, baik dengan cara yang terlembaga melalui peraturan perundang-undangan maupun dengan cara yang sembrono melalui praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan.
Ketiga, oleh karena ruang kosong yang tersedia berkaitan dengan batas luas maksimum penguasaan lahan, dan rumusan yang abu-abu dan karet tentang hubungan antara kekuasaan Negara dan kekuasaan organisasi masyarakat adat, maka kebijakan-kebijakan turunan dan sektoral di bidang kehutanan dan pertambangan menjadi liar dan membuka kemungkinan bagi kekuasaan pemilik modal, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Maka sebagaimana catatan Anton Lucas dan Carol Warren dalam Land for the People (2013), “Paradoxically the … legislation oversaw diametrically opposed policies of the Old Order Sukarno (1950-1965) and New Order Suharto (1966-1998) regimes”, Kebijakan dan perundangan setelah tahun 1960 banyak bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria.