Pemimpin Perempuan di Asia, Antara Tekanan dan Stereotipe
Di Hongkong, Carrie Lam menjadi chief executive perempuan pertama. Dan di Myanmar, semua tahu, presiden sesungguhnya adalah Aung San Suu Kyi kendati posisi resminya adalah penasihat negara.
Tapi, tak sedikit pula di antara mereka yang harus mengakhiri jabatan dengan pahit. Bahkan tragis.
Yingluck Shinawatra misalnya. Oleh kalangan oposisi, dia selalu dicitrakan sebagai boneka sang kakak, Thaksin Shinawatra. Hingga akhirnya dimakzulkan karena tudingan korupsi.
Benazir Bhutto adalah contoh lain. Kursi perdana menteri (PM) Pakistan memang dua kali didudukinya. Tapi, sedari awal menjabat, putri mantan PM Pakistan Zulfikar Ali Bhutto itu nyaris tak pernah lepas dari tekanan dan teror.
Hampir tiap kebijakannya ditentang. Sampai kemudian, hidupnya berakhir sebagai korban pembunuhan.
Cory Aquino juga harus menghadapi tekanan serupa nyaris sepanjang enam tahun kepemimpinannya di Filipina. Kudeta demi kudeta terus terjadi.
Ada beragam stereotipe yang masih menggelayuti pemimpin perempuan di Asia. Mulai dianggap lemah secara pendirian, kurang berani mengambil keputusan, sampai dibebani tanggung jawab domestik di rumah. Dan, semuanya itu yang akhirnya jadi senjata para musuh politik untuk menyerang.
Oleh para pakar, fenomena tersebut dinamakan glass ceiling. Ada tapi tak terlihat secara kasatmata. Naomi Denning, chairperson Inclusion & Diversity Council for Asia, menegaskan bahwa masyarakat modern harus bekerja sama mendobrak glass ceiling.