Pengamat Sebut Banyak Periset Ketakutan Melakukan Penelitian Eksploratif dan Bebas
“Dana yang kecil sulit untuk menggerakkan kemajuan riset karena kualitas dan hilirisasi membutuhkan biaya besar," ucapnya.
Belum lagi, kata Rizal, bila porsi kecil itu pengelolaannya tidak terpadu, tersebar di berbagai kementerian atau kembaga negara, yang berpotensi terjadinya duplikasi dan inefisiensi hasil penelitian.
Dia berharap penggabungan tersebut mengarahkan orientasi kebijakan dan pengelolaan riset lebih terpadu.
Lebih lanjut dikatakan, dalam meningkatkan anggaran terbatas, ekosistem kolaborasi dengan swasta diperlukan untuk menjadi filantropi pengembangan riset bersama dunia kampus. Saat ini, data BRIN menunjukkan porsi sektor swasta masih berkisar 8-10% dari keselutuhan anggaran riset di Indonesia.
"Kolaborasi pemerintah, swasta, dan kampus agar berkelanjutan dapat melalui pembentukan “dana abadi” dengan relaksasi perpajakan, membuat kanal kampus, menjamurnya pilot project riset bersama," tuturnya.
Harapan lainnya, kata dosen di Universitas Gajah Mada (UGM) ini, penggabungan dua kementerian bisa menciptakan budaya riset yang terinternalisasi di dalam proses pendidikan dan ekosistem belajar sejak pendidikan dasar. Sehingga proses pembelajaran didominasi dengan thinking and reasoning process, bukan sekadar konten pengetahuan.
Jadi, kata Nur Rizal, penggabungan kementerian ini akan menyediakan “jalan toll” bagi penumbuhan minat, sikap dan budaya ilmiah atau menemuan nyata di kalangan generasi muda Indonesia
“Jika ingin menjadi negara maju, maka porsi anggaran yang besar terhadap untuk riset, efisiensi pengelolaan anggaran, dan ekosistem riset harus menjadi fokus utama dalam menjalankan sektor ristek ini," pungkasnya. (esy/jpnn)