Pengelolaan Kelapa Sawit Rawan Korupsi
jpnn.com, JAKARTA - Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Sayangnya, pengelolaannya masih banyak menimbulkan masalah. Lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian membuat sektor ini rawan korupsi.
“Korupsi dalam proses perizinan perkebunan kelapa sawit sering melibatkan kepala daerah. Seperti yang sudah ditangani oleh KPK, yakni Bupati Buol Amran Batalipu dan Gubernur Riau Rusli Zainal,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Senin (24/4).
Kajian KPK pada 2016 menemukan bahwa hingga saat ini belum ada desain tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kondisi ini tidak memenuhi prinsip keberlanjutan pembangunan.
“Sehingga, rawan terhadap persoalan tata kelola yang berpotensi adanya praktek tindak pidana korupsi,” paparnya.
Menurut Febri, dari sisi hulu sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit belum akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha. Hal ini ditandai dengan tidak adanya mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang. Integrasi perizinan dalam skema satu peta juga belum tersedia. Selain itu, kementerian dan lembaga terkait belum berkoordinasi dalam penerbitan perizinan. “Akibatnya, masih terjadi tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektare.”
Di hilir, lanjut Febri, pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit belum efektif karena sistem verifikasi belum berjalan baik. Penggunaan dana kelapa sawit habis untuk subsidi biofuel. Parahnya, subsidi ini salah sasaran dengan tiga grup usaha perkebunan mendapatkan 81,7 persen dari Rp 3,25 triliun alokasi dananya. Padahal seharusnya penggunaan dana terbagi untuk penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, dan riset.
“Tak hanya itu, pungutan pajak sektor kelapa sawit tak optimal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak,” kata Febri.
Tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor ini mengakibatkan ada kurang bayar pungutan sebesar Rp 2,1 miliar dan lebih bayar Rp 10,5 miliar. Tingkat kepatuhan pajak baik perorangan maupun badan juga mengalami penurunan. Sejak tahun 2011-2015, wajib pajak badan dan perorangan kepatuhannya menurun masing-masing sebanyak 24,3 persen dan 36 persen.