Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Korupsi CPO Dinilai Tidak Sah
jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai penghitungan kerugian keuangan negara terhadap kasus korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak sah.
Fickar menegaskan yang memiliki kewenangan menghitung kerugian keuangan negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Seharusnya tidak sah, karena yang punya otoritas menyatakan negara merugi atau tidak hanya BPK," ujar Fickar dalam keterangannya, Senin (24/7).
Diketahui dalam sidang putusan kasus korupsi persetujuan CPO di Kementerian Perdagangan (Kemendag) ini terjadi silang pendapat antara hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan jaksa penuntut umum (JPU).
Hakim saat membacakan vonis terhadap General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley Ma dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Palulian Tumanggor tak setuju dengan nilai kerugian keuangan negara Rp6 triliun seperti yang dituangkan dalam dakwaan JPU. Hakim meyakini kerugian keuangan negara dalam perkara itu hanya Rp2 triliun.
Fickar menyebut penegak hukum tak bisa sembarangan dalam menentukan unsur kerugian keuangan negara. Sebab, unsur kerugian keuangan negara dalam sebuah perkara akan dituangkan ke dalam surat dakwaan. Namun jika surat dakwannya tak memenuhi unsur jelas dan akurat, maka dakwaan bisa batal demi hukum.
"Karena itu setiap dakwaan korupsi menjadi penting perhitungan kerugian negaranya," ucap dia.
Fickar menyebut unsur kerugian keuangan negara merupakan hal terpenting dalam pembuktian kasus yang menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor. Namun jika unsur kerugian keuangan negara hanya berdasarkan asumsi, maka hakim bisa menyatakan hal tersebut tidak sah.