Penjelasan Ketum PBNU soal Larangan Menyebut Nonmuslim Kafir
Helmy mengatakan keputusan ini akan disosialisasikan secara luas. Tujuanya adalah mengajak untuk mengubah cara pandang dalam melihat saudara non muslim sebagai saudara sebangsa. Apalagi dalam konteks muamalah.
"Kita saling butuh. Mau beli beras misalnya yang jual Tionghoa, ya tetap kita beli. Sebaliknya kalau toko beras lagi membangun, perlu tukang atau semen, yang jual Haji Abidin kan ya juga butuh. Masa beli beras harus cari yang satu agama," paparnya .
Helmy juga menegaskan bahwa keputusan Munas ini tidak dalam rangka mengubah atau menghapus konsep kafir yang ada di Alquran. "Ini kan belum belum sudah ada hoaksnya, katanya NU mau menghapus Surah al-Kaafirun, salah lagi (NU,red)," katanya.
Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj mengungkapkan, dalam konteks pemerintahan negara bangsa yang dikenal dengan istilah muwathonah atau citizenship, tidak dikenal istilah kafir.
"Seluruh warga negara memiliki hak yang sama di hadapan konstitusi," katanya dalam pidato sambutannya dalam penutupan Munas, Jumat (1/3).
Said menyandarkan pendapatnya pada sejarah nabi. Saat periode Makkah, istilah kafir dialamatkan pada penduduk mekkah yang masih menyembah berhala alias penganut Paganisme, animisme, klenik dan gnostik yang tidak memiliki kitab suci
Pascahijrah di periode Madinah, tidak ditemui lagi istilah kafir bagi penduduk Madinah yang tidak memeluk Islam. "Padahal, di Madinah sendiri ada tiga suku pemeluk Yahudi seperti Bani Nadhir, Qainuqa, dan Quraizah," kata Said.
Acara Munas Alim Ulama dan Konbes NU ke 8 ditutup secara resmi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Poin poin rekomendasi yang dihasilkan dari 3 Bahtsul Masail yakni Waqiiyah (aktual), Maudluiyah (tematik), dan Qanuniyah (regulasi) diserahkan pada Wapres sebagai representasi pemerintah.