Penting! Krakatoa Meletus, Saksi Mata Mencatat…
jpnn.com - ULAH Gunung Anak Krakatau yang disebut-sebut memicu naiknya air laut, menjilati ujung tanah Jawa dan Sumatera, baru-baru ini, memulangkan ingatan pada Syair Lampung Karam--sebuah catatan saksi mata!
Syair Lampung Karam yang ditulis dengan aksara Arab Melayu pada 1883 oleh Muhammad Saleh, ditemu-kumpulkan lagi oleh Suryadi 125 tahun kemudian.
Tak hanya mengumpulkan. Anak Minang yang kini mengajar di Universitas Leiden, Belanda itu juga mentransliterasinya ke aksara latin.
Tengok saja seluruh buku baru yang mengulas sejarah letusan Gunung Krakatoa. Nyaris tak satu pun yang melewatkan Syair Lampung Karam sebagai sumber primer.
Suryadi telah memberikan sumbangan yang penting untuk ilmu pengetahuan. Terutama sejarah.
Apa kisah di balik kerja-kerja ilmu pengetahuan itu, simak obrolan ringan Wenri Wanhar, jurnalis Jawa Pos National Network (JPNN.com) dengan Suryadi Sunuri yang sedang berada di rumahnya, Witte Singel-complex, Matthias de Vrieshof 3, Leiden, The Netherlands.
WW: Jadi, kisah penemuan naskah Syair Lampung Karam itu bagaimana ceritanya?
SS: Naskah Syair Lampung Karam ini saya temukan dalam bentuk cetak batu. Litografi dalam istilah akademiknya. Seperti cetak membatik. Metode penerbitan buku sebelum era mesin cetak.
WW: Ditemukan di mana saja?
SS: Secara umum tersimpan di Library Leiden, Belanda. Di University of London, Inggris. Juga di Perpustakaan Nasional Jakarta. Di Kuala Lumpur, Malaysia. Dan Frankfurt, Jerman.
WW: Tersebar di banyak negara rupanya…
SS: Ya, ada beberapa versi.
Pertama, 1883-1884. Itu edisi pertama sejauh yang saya temukan.
Judulnya Syair Negeri Lampung yang Dinaiki Air Laut dan Hujan Abu.
Cetak batu pertama ini, menyebutan diterbitkan di Singapura.
Setahun kemudian edisi kedua, 21 November 1884.
Judulnya Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut. Juga terbit di Singapura.
Edisi ketiga, terbit 1886. Juga di Singapura.
Judulnya, Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air Laut.
Edisi ke-empat, judulnya Inilah Syair Lampung Karam Adanya. Terbit 1888. Juga di Singapura.
Itu empat versi sejauh ini yang saya temui.
WW: Terbit di Singapura semua rupanya…
SS: Ya, akhir Abad 18, Singapura menjadi pusat penerbitan yang penting.
WW: Dari empat versi itu, isinya sama semua? Apa semacam tulisan bersambung? Atau edisi terbaru merevisi terbitan sebelumnya?
SS: Isinya bervariasi. Meski intinya sama. Makanya saya buat edisi kritik dalam Syair Lampung Karam yang saya alih aksara-kan.
Yang menarik bahwa penerbitan antar edisi itu tidak begitu lama. Menunjukkan buku itu favorit pada masa itu.
WW: Seluruh versi itu ternyata diterbitkan di Singapura. Pada Abad 19, Singapura memang boleh dibilang pusat penerbitan. Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, yang pertama kali menyebut kata "Indonesia" pada 1847, juga terbit di Singapura.
Nah, selain Syair Lampung Karam, berdasarkan penelitian Pak Suryadi, apakah ada naskah lain yang mengisahkan peristiwa letusan Gunung Krakatoa pada 1883 itu?
SS: Kalau laporan orang Eropa banyak. Laporan internasional bahkan ada ratusan. Tapi, catatan kesaksian pribumi yang saya temukan hanya itu.
Simon Winchester ada menuliskan itu dalam bukunya. Sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia kayaknya. Sudah baca?
WW: Ya, judul buku Simon itu Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883.
SS: Benar. Ada seorang China yang juga mencatat. Namanya Ong Leng Yauw. Dia tinggal di Karang Hantu, Banten. Romi Zarman pernah menulis tentang itu.
Ketika letusan itu terjadi, usia Ong Leng Yauw 14 tahun.
Seperti Mohammad Saleh yang menulis Syair Lampung Karam, menyaksikan peristiwa itu di Lampung, Ong Leng Yauw menyaksikan peristiwa itu di Banten.
***
MENARIK lini masa, sepanjang yang berhasil dijangkau para penulis sejarah, kisah letusan Krakatoa pada 1883-lah yang boleh dibilang paling lengkap.
Banyak sekali sumber sezaman. Satu di antara yang terpenting adalah Syair Lampung Karam.
Naskah itu telah ditranliterasi oleh Suryadi. Terbit di bawah judul Syair Lampung Karam—Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883.
“Satu-satunya kesaksian pribumi yang tertulis dalam aksara Arab Melayu. Ditulis dalam bentuk laporan pandangan mata yang humanis. Teks kuno yang dikarang dan diterbitkan tiga bulan paska letusan, Agustus 1883. Ditemukan secara terpisah oleh Suryadi 125 tahun kemudian di enam negara.”
Begitu tertera di halaman muka buku tersebut.
Menurut cerita Suryadi kepada JPNN, sore tadi, buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh John McGlynn dari Yayasan Lontar Jakarta. Diterbitkan oleh NUS Press, Singapura, pada 2014.
Kini, Suryadi sedang mengalih-aksara dan menulis naskah Syair Gerak Gempa yang pernah diterbitkan di Fort de Kock (Bukittinggi) oleh Drukkerij Baroe pada 1927.
“Syair ini mengisahkan gempa bumi dahsyat di Padang Panjang tahun 1926,” katanya. (wow/jpnn)