Penyadapan, Pola Usang Intelijen yang Efektif dan Berkesinambungan
Oleh; DR Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., Msijpnn.com - PEMBERITAAN Sidney Morning Herald dan The Guardian tentang penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden SBY dan istrinya serta terhadap sejumlah pejabat lainnya menyengat media massa Indonesia. Karena itu media massa bertanya kepada Menlu Marty Natalegawa. Awalnya, banyak kalangan menyatakan bahwa sadap menyadap adalah bagian dari kerja intelijen yang lumrah.
Persoalannya adalah ketahuan atau tidak. Tetapi begitu pemberitaan menyatakan penyadapan juga dilakukan terhadap Nyonya Ani Yudhoyono, sontak Presiden SBY merespon. Menlu Marty pun memanggil pulang Dubes RI untuk Australia sambil menyatakan bahwa penyadapan itu melanggar hak-hak sipil sosial politik dan konvensi Viena ttg diplomasi. Sementara PM Australia Tony Abbot menyatakan menolak meminta maaf karena tidak mau mengganggu hubungan baik Australia dengan Indonesia. Ini bentuk diplomasi yang nampaknya menghargai tapi justru merendahkan.
Sadap menyadap sebenarnya pola usang dari keingin tahuan pihak lawan. Dalam Al Qur’an, setan pun mencuri dengar pembicaraan Allah Yang Maha Kuasa dengan para malaikat. Tujuan setan adalah memosisikan keberadaannya bahwa dia tahu peristiwa yang akan datang. Dengan begitu manusia menjadi pengikutnya.
Pada abad modern, penyadapan baik melalui penempatan orang (menyusupkan seseorang sebagai mata-mata/agen), menempatkan informan (pembocor rahasia), jual beli dokumen rahasia hingga penggunaan teknologi memberi pemahaman bahwa pergaulan internasional sarat dengan sikap saling curiga walau di permukaan wajah bersahabat mengemuka. Perilaku saling curiga itu sendiri berlatar belakang sikap hidup berkompetisi. Disebabkan oleh kehidupan saling berkompetisi, maka “sahabat” pun perlu diamati, dicurigai, dan diketahui siapa mau apa dan ke mana. Itulah yang dilakukan AS terhadap Jerman sehingga Angela Merkel merespon penyadapan terhadapnya dengan sikap tegas bermartabat.
Penyadapan memang bagian dari pekerjaan memata-matai pihak tertentu. Untuk Indonesia, dalam catatan saya, hal itu sudah terjadi sejak pemberontakan PRRI/Permesta. Kebijakan Bung Karno terus diamati AS. Dalam kajian Audrey McCahin dan George McCahin, penyadapan dan pemantauan sikap kebijakan Bung Karno telah melahirkan provokasi berbentuk pemberontakan setengah hati.
Setelah Pemerintahan Soekarno berhasil disusupi pada era 1963-1965, Bung Karno dijatuhkan. Berikutnya adalah penyusupan lebih dalam lagi melalui bantuan pembuatan UU sehingga pada 10 Januari 1967 lahirlah UU Penanaman Modal Asing. UU ini, sebagaimana ditulis Bradly Simpson dalam bukunya “Economist With Guns” sebenarnya produk USAID yang diserahkan ke kaki tangan AS pada 25 Desember 1966.
Tidak berhenti di situ, melalui utang luar negeri berbentuk pinjaman program dan pinjaman proyek, penyusupan berjalan mulus. Berikutnya, Indonesia sudah dalam pengaruh AS dan sekutunya, termasuk Australia. Lihatlah dokumen National Security Strategy of USA yang ditandatangani Presiden AS George W Bush pada 17 September 2002 dan National Security Strategy of USA yang ditandatangani Presiden AS Barack H Obama pada Mei 2010. Tindak lanjut atas dokumen selevel manifesto ekonomi politik itu adalah terbitnya kajian dari National Intelligence Council bertajuk Global Trends 2030, Alternative Worlds.
Beriringan dengan dokumen itu adalah lahirnya dokumen White Paper dari intelijen Australia. Robert D Kaplan menguraikannya dengan baik dalam bukunya Monsoon. Inti dari semua itu adalah semangat dan tekad Barat, dalam hal ini AS bersama sekutunya, melanjutkan posisi keberadaannya sebagai adi daya global. Sayangnya sejak Oktober 2008, AS tersungkur karena kalah dalam perang industri manufaktur dengan RRC.