Perang Melawan Biawak di Gaza
Senin, 12 Januari 2009 – 12:18 WIB
Di malam terakhir, seperti cerita rakyat di Indonesia yang menyebar dari mulut ke mulut, maka dalam “Kisah 1001 Malam”, engkau dan sang raja pun memadu kasih, dalam ritual syahdu dan bergairah untuk menitiskan generasi baru pelanjut garis turunanmu di mayapada ini.
Tetapi aduhai Tuan dan Puan menyesal seribu kali sesal, walaupun telah bermiliar-miliar kata telah terdengar bagai orkestra dari seluruh penjuru jagat, yang dipekikkan oleh masyarakat dunia yang anti perang, tapi Israel tiada peduli. Bom dan mortir tetap saja menghujani Gaza. Di hari ke 14 kemarin, jumlah korban tewas mencapai 785 orang sejak serbuan 27 Desember tahun silam, dua hari setelah peringatan Natal.
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1860 Mengenai Situasi di Jalur Gaza yang menyerukan gencatan senjata dibalas Israel dengan “hujan” amunisi, rudal dan pelor yang tak punya mata kepala dan mata hati serta dibalas pasukan Hamas sebisanya, lalu menyergap kaum sipil yang tak berdosa. Beribu orang terluka, dirawat di rumah sakit dan terancam kelaparan di tenda-tenda pengungsi. Langit boleh runtuh tapi perang terus berkecamuk.
Padahal di negeri-negeri beradab, kata-kata masih berdaya. Kata yang tertuang dalam konstitusi, artikel hak asasi manusia, bahkan di kitab suci agama dan malah yang aplikatif macam resep masakan masih dipedomani manusia. Kata-kata dalam iklan pulsa telpon genggam yang selalu fantastik juga didengar dan diikuti oleh publik.
Mendadak sontak saya terkenang berderet-deret kata yang diajarkan oleh nakhoda kapal “Kandong Bandoeng” bernama J van Toch kepada segenap biawak di Teluk Hantu di Pulau Tanah Masa, konon di sebelah barat Sumatera, seperti pernah ditulis oleh budayawan Hasan Junus di Pekanbaru dalam sebuah buku kebudayaan.
Dikisahkan betapa mereka menguasai ilmu dan teknologi yang dikendalikan oleh naluri, hasyrat dan libido hewani sehingga menjadi kekuasaan totaliter yang membahayakan kemanusiaan.