Perempuan Lintas Agama Indonesia Belajar Kepemimpinan di Australia
Bagi Mathilda Wowor, keprihatinan terhadap kondisi meningkatnya intoleransi di masyarakat Indonesia, mendoronganya untuk membuat proyek berupa modul pengajaran toleransi untuk murid Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
"Di organisasi WKRI, kebetulan saya membawahi bidang Pendidikan, Saya lihat selama ini belum ada modul khusus yang secara standar memberikan pemahaman pada anak secara dini mengenai keberagaman. Padahal ini sangat penting mengingat kondisi negara kita saat ini, bagaimana kita lebih cenderung melihat perbedaan daripada harmonisasi dari persamaan diantara kita."
"Dan menurut saya sikap seperti itu harus dimulai dari anak-anak, dimana 5 tahun pertama dalam hidup anak merupakan usia emas atau Golden Age yang jika mereka dibimbing dengan baik itu akan sangat mempengaruhi karakter mereka di masa depan."
Mathilda mengatakan sebagai langkah awal modul yang akan disusunnya nanti akan diterapkan di sekolah-sekolah yang selama ini bernaung dibawah organisasinya mulai dari tingkan TK, SD hingga SMP.
Dan dia berharap nantinya akan dapat dikembangkan agar bisa diberikan di seluruh sekolah umum dan organisasi peserta program kursus singkat ini juga.
Tantangan kaderisasi dan peluang beasiswa
Sementara itu, peserta lainnya, Amalia Abdullah dari Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), lebih menyoroti pentingnya pengkaderan di internal organisasinya yang sudah berdiri lebih dari 7 dekade dan memiliki perwakilan di 34 wilayah.
"Di Muslimat NU itu budaya santrinya sangat kuat. Jadi kader kami biasanya sikapnya sangat Tawadhu dan lebih mengutamakan yang lebih tua. Sehingga pemberian peran dan peluang sering tidak berdasarkan kapasitas. Mungkin ada kader yang lebih punya kapasitas tapi malu atau sungkan dengan seniornya." tutur perempuan yang menjabat sebagai ketua Hubungan Luar Negeri di organisasi perempuan NU itu.