Pertempuran Jarak 50 Meter, Peluru Berdesingan di Atas Kepala
SOSOK tua Wimo Sumanto, 89, tampak berada di sela-sela upacara peringatan Hari Pahlawan di TMP Kalibata, Jakarta, 10 November 2015, yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia merupakan salah satu pelaku sejarah peretempuran 10 November di Surabaya. Seperti apa sosoknya?
------------
Nasuha, JAKARTA
-----------
MENGENAKAN stelan jas berwarna berwarna biru dan slempang berwarna kuning bertuliskan veteran perintis kemerdekaan RI, Wimo Sumanto tampak berlinang air mata saat menaburkan bunga di selasar makam Ahmad Yani dan beberapa Pahlawan Revolusi lainnya seperti MT Harjono, Sutojo Siswomi Hardjo, dan R.D. Suprapto.
Dengan berkaca-kaca, kepada INDOPOS veteran Brigade 17 Tentara Pelajar Indonesia itu bercerita bagaimana kedahsyatan perang Palagan Ambarawa di Surabaya, Jawa Timur. Kedatangan Belanda usai kemerdekaan Indonesia membonceng tentara sekutu. Belanda mendarat di beberapa wilayah Indonesia seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
”Pasukan Belanda dan sekutunya langsung melancarkan serangan kepada tentara Indonesia. Yang ingin menduduki Indonesia saat itu bukan Belanda, tapi pasukan Amerika,” ujar Wimo, yang juga saksi mata bom Cikini pada 1957 itu.
Laki-laki yang pernah bertugas menjadi Provost Pengawal Presiden RI I Soekarno itu mengatakan, tewasnya Jenderal Malllaby, pemimpin sekutu yang dipimpin Inggris di Surabaya memicu pertempuran hebat di Surabaya yang terkenal perang 10 November.
Pasukan sekutu saat itu menduga Soekarno dalang di belakang peritiwa tersebut. Beberapa kali Soekarno mendapat teror akan dibunuh. ”Berkali-kali Presiden Soekarno akan dibunuh, tapi gagal lagi dan gagal lagi,” ungkapnya.
Kian hari dikatakan laki-laki yang tinggal di bilangan Salemba, Jakarta Pusat ini, perang pasca kemerdekaan semakin meluas. Belanda bersama sekutunya terus membumihanguskan kota-kota atau wilayah yang ditemukan ada senjata.
Mereka menganggap pasukan Indonesia melakukan perlawanan dan tidak menghiraukan ultimatum untuk menyerahkan senjata tanpa syarat.
”Saat pasukan sekutu menyerang, saya berhadap-hadapan dengan pasukan Belanda yang hanya berjarak 50 meter. Saya pun memilih tiarap. Peluru berdesingan di atas kepala. Kalau kepala saya menengadah sedikit saja, mungkin kepala saya sudah bolong,” tandasnya.