Petisi Papua: Membuktikan Janji HAM Australia
Pemilu pura-pura
Setelah enam tahun di bawah kontrol Indonesia yang brutal, termasuk melibatkan tindak pelanggaran HAM yang terdokumentasi dengan baik, militer Indonesia melakukan referendum pura-pura pada tahun 1969 yang disebut "Penetuan Pendapat Rakyat".
Warga Papua kurang lebih dianggap "terlalu primitif" untuk menjalankan demokrasi.
Sebanyak 1.024 orang Papua dipilih untuk memilih atas nama keseluruhan populasi hampir satu juta jiwa. Di bawah tekanan, termasuk ancaman dari pejabat militer untuk memotong lidah mereka, mereka secara mengejutkan memilih Papua untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Seorang jurnalis Australia yang menyaksikan pemungutan suara tersebut, Hugh Lunn, menyampaikan kepada seorang pejabat PBB tentang kekerasan dan intimidasi yang telah dilihatnya, namun kekhawatiran tersebut tidak diperdulikan.
Dua pemimpin Papua, Clement Ronawery dan Willem Zonggonau, mencoba melarikan diri ke New York untuk menyampaikan bukti-bukti pemilu pura-pura tersebut, namun pihak berwenang Australia tanpa malu mencegat dan menahan mereka di Pulau Manus.
Pemungutan suara tersebut kemudian dikenal sebagai "Pepera" di Papua dan dalam dekade-dekade berikutnya, diperkirakan sekitar 100.000 orang telah terbunuh atau hilang di tangan pihak berwenang Indonesia.
Sama seperti di Timor Leste, Pemerintah Australia telah mengabaikan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua di bawah kediktatoran Suharto, namun secara aktif memberikan bantuan militer dan membantu pihak berwenang Indonesia menyembunyikan pelanggaran tersebut di bawah karpet.
Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, tidak banyak yang berubah. Namun begitu pula keteguhan orang Papua untuk memastikan suara mereka tetap terdengar.