Petrus Selestinus: Hak Angket DPR Menjawab Tuntutan Publik Soal Pilpres Jujur dan Adil
Dengan demikian, penggunaan hak angket atau hak interpelasi bahkan hak Menyatakan Pendapat oleh DPR menjadi sangat penting, urgen dan strategis.
Oleh karena itu, Petrus menilai pandangan Profesor Dr. Yusril Ihza Mahendra selaku Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sekaligus pakar Hukum Tata Negara, bahwa pihak yang kalah di Pilpres tidak dapat menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki kecurangan pemilu 2024 dan seharusnya mencari penyelesaian ke MK adalah pendapat yang membodohi masyarakat, sesat dan partisan.
“Pada saat ini kasus pelanggaran pemilu di mata publik, sudah masuk kategori TSM dan itu sangat merugikan hak-hak rakyat pemilih. Rakyat selaku pemegang kedaulatan, tetapi tidak mendapat tempat untuk mendapatkan keadilan di MK sehingga rakyat akan mencari dan menemukan sendiri jalannya untuk mengakhiri pemilu curang yang TSM ini,” ujar Petrus.
Caranya, kata dia, tentu lewat penggunaan hak Angket atau hak Interpelasi atau hak Menyatakan Pendapat maupun lewat kekuatan masa mendesak Presiden Jokowi mundur; Pilpres batal, dan Pilpres diulang.
Petrus mengatakan instrumen politik di DPR, yaitu penggunaan hak Angket, hak Interpelasi dan hak Menyatakan Pendapat menjadi kebutuhan dan pilihan langkah yang realistis, urgen, konstitusional dan sangat strategis ketika instrumen peradilan berada dalam cengkeraman nepotisme dan politik dinasti di suprastruktur politik sehingga tidak mandiri dan bebas dalam pelayanan keadilan.
Lebih lanjut, Petrus mengatakan Pemilu 2024 baru saja kita lalui pada tanggal 14 Februari 2024 yang lalu. Namun, yang terjadi saat ini dengan munculnya berbagai klaim dan protes tentang kecurangan, pelanggaran dan manipulasi, memperlihatkan betapa proses Pemilu 2024 telah berlangsung secara tidak adil dan tidak jujur bahkan melanggar asas-asas Pemilu yang digariskan dalam Pasal 22E UUD 1945.
“Jika saja proses dan hasil pemilu pada setiap tahapan terjadi pelanggaran terhadap asas-asas Pemilu sebagaimana digariskan dalam UUD 1945 dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka ketika pelanggaran asas-asas pemilu itu dibiarkan atau ketika lembaga yang berfungsi menyelesaikan segala permasalahan pemilu tidak lagi dipercaya oleh rakyat, maka konsekuensinya hanya ada dua pilihan.
Pilihan pertama adalah Pemilu batal dengan segala akibat hukumnya dan Pemilu harus digelar ulang.