PGI Setuju, PBNU dan MUI Tolak Kawin Beda Agama
jpnn.com - JAKARTA - Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait undang-undang 1/1974 tentang perkawinan kian seru. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan kelompok agama tersebut terjadi perbedaan pendapat soal perkawinan beda agama.
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia setuju perkawinan beda agama, sedangkan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak.
Sidang UU perkawinan tersebut dimulai sekitar pukul 11.00. Awalnya, Komisi Hukum Gereja-gereja Indonesia (PGI) Nikson Lalu menjelaskan, hukum perkawinan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan.
Namun, perkawinan dengan pengelompokan kedudukan dipandang tidak sesuai dengan cita-cita bangsa. "Pengelompokan perkawinan tidak sesuai dengan UUD 1945" terangnya.
Sebab, saat dibuat pada 1974 tidak memperhatikan unsure-unsur perbedaan agama. Padahal, seharusnya undang-undang ini mengayomi prinsip-prinsip tersebut. "Asal-usul para pihak yang kawin harus dipahami, kalau ada perbedaan agama tentu tidak jadi soal," terangnya.
Seharusnya, lanjut dia, hukum agama tidak menentukan keabsahan dari sebuah perkawinan. Apalagi, sebelum pemberlakuan UU 1/1974 itu terdapat pengaturan soal perkawinan campuran. "Tentu ini perlu untuk perbaikan," jelasnya.
Dengan begitu, PGI berpendapat bahwa pasal 2 ayat 1 UU 1/1974 tentang perkawinan itu telah mengabaikan realitas yang terjadi dalam masyarakat yang kental akan Bhineka Tunggal Ika dan multikulturalisme.
"Meskipun perkawinan beda agama itu tidak ideal, tapi memungkinkan terjadi di Indonesia," paparnya.
Apalagi, dengan tidak memungkinkannya perkawinan beda agama membuat manusia terkadang terjebak dalam situasi yang tidak bermoral. Salah satunya, tinggal serumah tanpa hubungan pernikahan. "Ini membuat penyimpangan moral justru semakin melebar," tegasnya.
Sementara itu Wakil Sekretaris MUI Luthfi Hakim menuturkan, pembukaan UUD 1945 yang menyebut dasar negara dan tujuan negara harus sesuai dengan Pancasila. Dengan begitu, setiap perundang-undangan wajib untuk mematuhi aturan hukum dalam agama. "Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa," terangnya.
Apalagi, lanjut dia, UU perkawinan ini disahkan jauh sebelum pemohon itu lahir. Namun, sayangnya karena kurangnya referensi, maka pemohon menafsirkan ayat dalam UU perkawinana itu secara absurd. "Seharusnya, mereka membaca dulu tafsir soal ayat-ayat tersebut," paparnya.
Sementara itu Rais Syuriyah PBNU Ahmad Ishomuddin menjelaskan, pernikahan itu merupakan hal yang penting. Tidak hanya wajib dipertanggungjawabkan di depan manusia, tapi di depan Allat SWT. "Karena itu tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama," jelasnya.
Karena itu, lanjut dia, pihaknya memohon agar MK tidak mengabulkan tuntutan apapun dari pemohon. Namun, kalau tidak, PBNU meminta keputusan seadil-adilnya. "Saya percaya MK akan menolak permohonan pemohon," jelasnya.
Sementara itu Ketua Majelis Hakim MK Hamdan Zoelva menuturkan, sidang akan dilanjutkan pekan depan. Semua keterangan ahli akan dipertimbangkan hakim dalam rapat pleno yang akan digelar pekan ini. "Dengan ini sidang ditutup," jelasnya. (idr)