Pilih Menantang Maut ketimbang Terperangkap Kemiskinan
jpnn.com, BENGHAZI - Bagi penduduk Afrika yang terperangkap kemiskinan di negerinya, Libya, khususnya Kota Tripoli, adalah daya tarik. Dari ibu kota sekaligus kota pelabuhan terbesar Libya itu, mereka bisa menyeberang ke Benua Eropa untuk mewujudkan mimpi. Tapi, yang dijumpai di Laut Mediterania seringkali maut.
Minggu malam (7/1) dua kapal sarat imigran terdampar di Laut Mediterania. Mesin kapal yang satu ngadat. Sedangkan kapal yang lain tenggelam. Akibatnya, lebih dari 272 imigran telantar. Sebanyak 53 di antara mereka perempuan dan 57 yang lain anak-anak.
Penjaga pantai Libya yang sejak 2016 menjadi jauh lebih waspada terhadap upaya penyelundupan imigran gelap pun langsung turun tangan.
Kemarin, Senin (8/1) Associated Press melaporkan bahwa petugas menemukan dua mayat perempuan di atas salah satu kapal. Tapi, nasib puluhan penumpang yang lain masih belum diketahui.
Kendati sudah banyak yang kehilangan nyawa di Laut Mediterania, imigran-imigran gelap yang sebagian besar datang dari negara-negara miskin Benua Hitam itu tidak jera.
Mati satu, tumbuh seribu. Semakin hari, semakin banyak imigran yang uji nyali di perairan yang memisahkan Benua Afrika dan Eropa itu.
Mulai akhir tahun lalu, Nigeria mulai merepatriasi warganya dari Libya. Uni Eropa (UE) mengucurkan dana 140 juta euro (sekitar Rp 2,25 triliun) untuk membantu repatriasi para imigran gelap dan pengungsi ke 14 negara asal.
Salah satunya Nigeria. Sejauh ini, sudah sekitar 6.600 warga Nigeria yang dipulangkan. Untuk menunjang repatriasi, pemerintah menciptakan banyak lapangan kerja baru. (hep/c10/dos)