Pilkada Lewat DPRD Picu Korupsi Sistematis
Namun dalam pilkada tidak langsung, maka jenis korupsi yang dilakukan oleh anggota parlemen akan berlangsung dahsyat dan sistematis serta berkarakter greedy corruption atau bahkan corruption by system.
"Akibatnya korupsinya bisa sangat struktural karena korupsi pada jenis ini nilai korupsinya sangat besar. Bisa sepanjang pemerintahan kepala daerah, dana APBD dan APBN yang akan dijarah serta merusak trust publik pada kekuasaan," papar Bambang.
Dari data korupsi yang dirilis oleh Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri sejak 2004 - 2012, sambungnya, ada 290 kasus korupsi yang menjerat kepala daerah. KPK sendiri, katanya, menangani sekitar 52 kasus. Dari sejumlah kasus tersebut, menurutnya kasus korupsi kepala daerah justru terjadi pascapilkada dan tidak ada sangkut pautnya dengan pilkada langsung.
"Yaitu melakukan penyuapan terhadap Akil Muchtar, seperti misalnya antara lain dalam kasus Romi Herton (Palembang), Hambit Bintih (Gunung Mas) dan lainnya," terang dia.
Lebih lanjut, kasus korupsi yang diduga punya hubungan agak langsung dengan pemilukada, sambung pria yang akrab disapa Pak BW, ini biasanya yang berkaitan dengan kasus penyuapan. Misalnya, kasus Yesaya Sombuk dari Biak Numfor yang disuap. Berdasarkan data dan fakta-fakta di atas, pihaknya meyakini tidak ada hubungan secara langsung antara kasus korupsi yang terjadi dengan pelaku kepada daerah disebabkan karena pemilukada langsung.
"Dalam Data KPK, 81 persen kasus korupsi kepala daerah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan sesuai Pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor," pungkas dia.(sar)