Pilpres 2019 Tunjukkan Aspirasi Kelompok Pinggiran Terakomodir ke Politik Arus Utama
Proses pemilihan umum 2019 menunjukkan aspirasi kelompok-kelompok pinggiran telah terakomodasi ke atas pentas politik arus utama. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga menguat di negara-negara Barat seperti AS dan Australia.
Pilpres dan sentimen agama:
- Para politisi sekuler tidak bisa mengabaikan menguatnya konservatisme agama dalam politik Indonesia
- Kedua kubu capres sama-sama menggunakan sentimen agama dalam strategi politik mereka
- Efek elektoral strategi ini terlihat dari perolehan suara PKS dan PKB yang diprediksi meningkat
"Pilpres 2019 di Indonesia menunjukkan tampilnya aspirasi kelompok-kelompok pinggiran ke atas panggung politik arus utama," ujar Prof Vedi R. Haditz, pakar kajian politik pada Universitas Melbourne, Australia.
Dalam diskusi The State of Indonesia: A Post-Election Panel yang digelar La Trobe University pada Rabu malam (1/5/2019) di Melbourne, Prof Vedi menyebut Pilpres 2019 tidak bisa dilihat sebagai pertarungan ideologis antara kaum pluralis dan Islam politik.
"Diskursus kelompok pinggiran ini telah menyatu dengan wacana arus utama, diadposi oleh pemain politik utama dan bahkan disuarakan ulang oleh mereka," kata Prof Vedi yang kini menjabat asisten Rektor Universitas Melbourne bidang internasional.
"Memotret Pilpres ini sebagai pertarungan antara kekuatan Islam dan non Islam itu sama sekali tidak tepat. Kedua kubu sama-sama memobilisasi sentimen keagamaan," katanya, seperti dilaporkan wartawan ABC Farid Ma'ruf Ibrahim.
Dalam analisisnya, Prof Vedi menyebut menguatnya aspirasi keislaman dalam pentas politik Indonesia sebenarnya telah bermula sejak tahun 1970-an, ketika muncul gerakan Islamisasi kultural.
Jika dewasa ini sentimen tersebut semakin menguat, dalam penilaiannya wajar saja apabila kedua Capres - yang notabenenya berlatar-belakang sekuler - ingin menampung aspirasi ini dan tidak mengabaikannya.