PKH Ditunggangi Peserta Pilkada Jatim? Pengamat: Itu Biadab
jpnn.com, SURABAYA - Pengamat masalah kemiskinan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Ucu Martanto, prihatin mendengar kasus dugaan penyalahgunaan Program Keluarga Harapan atau PKH untuk dukungan suara di Pilkada Jawa Timur.
Kasus ini kabarnya dilaporkan warga Lamongan ke Panwaslu setempat, Rabu (25/4) kemarin. “Biasanya kondisi kemiskinan membuat warga rentan atas eksploitasi. Apalagi kalau disertai ancaman. Misalnya, kalau tidak memilih calon tertentu, akan dicoret dari daftar penerima bantuan. Ketika dititipi pesan itu, secara sosiologis kemungkinan besar akan menerima,” ujar Ucu, Kamis (26/4).
Dalam persaingan elektoral di Indonesia, kata dia, warga miskin sering kali menjadi objek operasi pemenangan pilkada. Mereka diberi imbalan materi jika bersedia memilih seseorang.
“Sebaliknya, jika tidak bersedia, ya pasti imbalan tidak diberi. Bagi orang miskin, tentu kecenderungan dari mereka adalah menerima imbalan materi disertai komitmen memilih,” kata Ucu.
Kabarnya, dalam kasus PKH di Lamongan ini, pendamping program menitipkan stiker milik calon nomor urut 1 disertai pesan untuk ikut memilih paslon tersebut. Ucu mengatakan, karena kemiskinan yang dialami, maka warga yang berada di status sosial itu dianggap sebagai sumber suara yang mudah dipengaruhi.
“Mereka kelompok marginal, karena itu rentan untuk dimanfaatkan. Ini yang membuat program anti-kemiskinan sering dianggap sebagai dalih saja, dengan memanfaatkan anggaran negara, namun ada kepentingan elektoral di balik itu,” ucap Ucu.
Dia sepakat kasus penyalahgunaan PKH di Lamongan harus segera diusut tuntas, agar diketahui apakah ada skenario besar yang melatari skandal itu, berikut aktornya.
"Jangan bermain-main lagi dengan PKH untuk Pilkada. Kalau ini diteruskan, maka rakyat tidak percaya lagi dengan program-program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan. Penyalahgunaan PKH yang terjadi di Jatim adalah perilaku politik yang biadab,” kata Ucu.