PMKRI Nilai Razia Buku Sebagai Bentuk Pengekangan Intelektual
“Pelarangan beredarnya buku-buku kiri terjadi di banyak tempat. Padang, Yogyakarta, Pare, Jakarta, dan terakhir ini terjadi di Makassar. Ini tentu menjadi preseden buruk bagi bangsa kita,” kata Alfred.
Saat ini, budaya literasi kita sedang terpuruk. Hanya satu dari seribu orang Indonesia memiliki minat baca. “Pelarangan buku-buku untuk beredar di masyarakat malah memperburuk literasi kita hari ini,” katanya.
Lebih lanjut, Alfred mengkriti institusi negara yang masih ekstraktif terhadap kebebasan intelektual. Suatu negara menjadi besar karena instutusinya inklusif, terutama dalam hal kebebasan intelektual. Negara-negara besar seperti Inggris dan AS menjadi besar salah satunya karena sangat menghormati kebebasan intelektual.
“Razia ilegal buku-buku di Indonesia dan pembiaran yang dilakukan pemerintah hanya menunjukkan watak ekstraktif bangsa kita yang takut dengan perubahan,” papar Alfred.
Alfred berharap visi pembangunan sumber daya manusia yang dicanangkan Presiden Jokowi dalam lima tahun ke depan harus betul-betul menjadi komitmen besar pemerintah dan masyarakat Indonesia.
“Jangan dilakukan setengah-setengah (membangun SDM, red). Hal pertama yang harus dilakukan agar visi ini berhasil adalah menindak tegas siapa pun yang melakukan razia ilegal buku-buku di Indonesia,” kata Alfred.
Alfred menambahkan, PMKRI saat ini tengah melakukan petisi untuk menindak tegas para pelaku razia buku ilegal di Indonesia. Hingga saat ini, petisi ini ditandatangani oleh lebih dari 24 ribu orang dari berbagai kalangan.
“Kami berharap petisi ini ditanggapi positif oleh pemerintahan Jokowi dengan mengambil langkah tegas bagi para pelaku sweeping buku di Indonesia,” tegas Alfred Nabal.(fri/jpnn)