Politikus Gerindra Terus Persoalkan Akuisisi Saham Freeport
jpnn.com, JAKARTA - Politikus Partai Gerindra terus melontarkan kritik atas langkah pemerintah melalui PT Inalum mengakuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Kali ini ada Gus Irawan Pasaribu yang menyebut akuisisi itu telah melanggar aturan.
Gus Irawan mengatakan, seharusnya pemerintah mematuhi kesepakatan dengan Komisi VII DPR, PT Inalum dan Freeport mengenai kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melakukan pembayaran atas divestasi saham senilai USD 3,85 miliar. Bahkan, Gus Irawan selaku ketua Komisi VII DPR yang membidangi pertambangan dan energi ikut meneken kesempulan rapat tentang kesepakatan dengan pemeringah, Inalum dan Freeport.
"Transaksi Freeport ini gagah-gagahan saja kelihatannya. Karena ini sudah melanggar kesepakatan, kesimpulan rapat yang diteken oleh pimpinan rapat oleh saya sendiri dengan Dirjen Minerba, Dirut Freeport Tony Wenas sama Dirut Inalum (Budi Gunadi Sadikin, red),” kata Gus Irawan kepada JPNN, Senin (24/12).
Gus Irawan memerinci, dalam kesimpulan rapat Komisi VII DPR soal Freeport terdapat poin tentang kesepakatan mengenai divestasi yang baru bisa dilakukan setelah masalah lingkungannya diselesaikan. Namun, legislator asal Sumatera Utara itu menduga persoalan lingkungan di kawasan tambang Freeport di Papua.
"Apa betul kemudian lingkungan yang terkorbankan ekosistem yang senilai Rp 185 triliun itu sudah diselesaikan (oleh Freeport)? Saya tidak yakin bahwa itu selesai," tegasnya.
Gus Irawan menegaskan, divestasi saham PTFI sehingga Indonesia memiliki 51,23 persen saham di anak perusahaan Freeport-McMoRan setelah membayar USD 3,85 miliar atau setara Rp 56,1 triliun tidak seharusnya terjadi. Sebab, lontrak karya raksasa tambang asal Amerika Serikat itu akan berakhir pada 2021.
"Dalam pandangan saya, kita tunggu saja kontrak karyanya berakhir, setelah itu kita salaman baik-baik, kalau perlu cipika-cipiki, kontrak tidak diperpanjang. Kalau kontrak berakhir kan kembali ke kita tanpa harus mengeluarkan uang yang ternyata global bond USD 3,85 miliar dollar," tuturnya.
Selain itu, kata Gus, ada banyak pertanyaan lain yang muncul di tengah masyarakat. Di antaranya kenapa divestasi saham itu dipaksanakan menjelang masa kontrak karya berakhir pada 2021.