Polri: Pilkada Langsung Lebih Rawan
jpnn.com - JAKARTA - Usulan penghapusan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) menangani sengketa pemilukada serta penolakan MA kembali menangani sengketa Pemilukada membuat wacana penghapusan pemilukada langsung mencuat.
Sejumlah pihak menilai pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD juga berimbas pada potensi kerusuhan horizontal akibat bentrokan massa pendukung calon-calon yang berlaga.
Mabes Polri mengakui pemilihan kepala daerah melalui pilkada langsung memang lebih rawan dari sisi keamanan. Ini disebabkan pemilukada langsung prosesnya melibatkan masyarakat luas sebagai pemilih.
"Tentunya pilkada langsung memiliki potensi kerawanan yang lebih jika dibanding pemilihan melalui DPRD," terang Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar tadi malam (15/10).
Meski demikian, Boy menegaskan Polri menolak untuk memilih kepala daerah pilkada dipilih DPRD atau pemilukada langsung. Polri hanya menjelaskan realita yang dihadapi aparat di daerah selama mengamankan jalannya pilkada.
"Sikap polri terhadap pilkada netral. Polri sama sekali tidak ikut campur dalam urusan pilkada kecuali mengamankannya," tegas mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya itu.
Penegasan Polri tersebut sesuai dengan hasil Musyawarah Nasional-Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Cirebon yang menyatakan pemilukada langsung mendatangkan kerusakan lebih besar dibandingkan mendatangkan kebaikan.
Salah satu akibatnya, Nahdlatul Ulama menilai pemilukada langsung membuat masyarakat terpecah belah akibat konflik horizontal maupun kerusuhan sosial.
"Kerusuhan tidak hanya karena tidak siap calonnya kalah, tetapi juga akibat kecurangan massif salah satu calon, sementara calon lain tidak bisa apa-apa. Karena itu, PKB mendukung rekomendasi Munas dan Konferensi Besar NU di Cirebon," kata Ketua Fraksi PKB Marwan Ja"far kemarin.
Selain kerusakan infrastruktur akibat bentrokan massa, pemilukada langsung juga dinilai memboroskan keuangan negara. Setiap tahun, negara menghabiskan anggaran Rp 15 triliun untuk menggelar pemilukada langsung atau sekitar Rp 75 triliun selama lima tahun.
"Dana itu belum dihitung anggaran negara yang diselewengkan petahana selama lima tahun, baik untuk kampanye halus maupun politik uang agar dapat terpilih lagi di pemilukada berikutnya," terang Marwan.
Sengketa pemilu di MK dinilainya juga bukan solusi yang baik, karena banyak kasus pemilukada yang diperintahkan MK agar diulang sehingga membuat pemilukada berlarut-larut serta mengganggu roda pemerintahan.
"Jika DPRD tidak baik memilih calon kepala daerah, sanksinya bisa langsung diambil yakni tidak memilih partai yang mengusungnya di pemilu depan," terangnya. (byu)