Potret Masa Lalu Remaja Eks Dolly dalam Antologi Cerpen
jpnn.com, SURABAYA - Dolly memang sudah lama tutup. Namun, reputasi masa lalunya terus terdengar sampai kini. Alih-alih menganggapnya aib, anak-anak muda ini berupaya mengubah image nama Dolly. Lewat tulisan mereka tentang masa lalu. Mengingatkan bahwa Dolly juga Surabaya.
Hal itu yang dilakukan Devi Latifur Rochimah dan Ricky Basofi. Berusia 19 tahun, remaja tersebut punya pengalaman sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Mereka harus menghabiskan masa kecil dengan dikelilingi rumah bordil.
Devi paling ingat ketika mereka kesulitan untuk bermain dan belajar. Sepulang sekolah, mereka dibiasakan untuk segera masuk ke rumah. Main di bagian belakang rumah-rumah berdempet. Takutnya, mereka bakal melihat banyak transaksi seksual yang dilakukan orang-orang dewasa di sekitar lokalisasi tersebut. Main di belakang rumah pun belum tentu aman Ketika main petak umpet, Devi tidak sengaja mencuri dengar. Ada sepasang orang dewasa yang sedang transaksi di balik tembok. "Piro, Mbak?" Devi menirukan kata-kata yang dia dengar waktu itu.
Sementara itu, Ricky mengaku sering kesulitan untuk belajar. Setiap malam lingkungan sekitar rumahnya ramai. Musik kelab berdentum dan orang-orang dari berbagai tempat berdatangan. Banyak yang mabuk, bahkan sampai tawuran. "Biasanya, baru bisa belajar pukul 01.00 malam, waktu sudah agak sepi," ujar pemuda yang sedang mengikuti program kejar paket C itu.
Malu jelas pernah mereka rasakan. Untungnya, lokalisasi tersohor di Asia Tenggara itu ditutup sejak empat tahun lalu. Hidup mereka berangsur-angsur berubah seperti lingkungan lain di Surabaya. Tapi, alih-alih menutup cerita masa lalu, Devi dan Ricky memilih untuk menulis kenangan mereka. Bersama 15 anak eks lokalisasi Dolly lainnya, mereka menulis cerita masa kecil dalam bentuk cerpen. Yang berkesan, cerita itu disatukan menjadi buku antologi cerpen.
Ada dua antologi cerpen yang sudah mereka hasilkan. Jilid pertama bertajuk Potret Dolly ? Potret Surabaya. Awalnya, anak-anak Karang Taruna Putat Jaya itu dibina oleh Kampung Literasi ITS. "Jadi, kami diberi pelatihan selama seminggu mengenai bagaimana menulis yang baik," tutur mahasiswi salah satu politeknik swasta di Surabaya tersebut. Devi mengaku tidak begitu mahir menulis waktu itu. Hanya, dia memang suka membaca. Terutama novel-novel roman khas remaja.
Waktu seminggu terbilang singkat. Tapi, nyatanya mereka berhasil menyelesaikan cerpen masing-masing. Devi menulis cerpen berjudul Hidup Tak Seindah Bercanda. Antologi pertama memang tidak sepenuhnya bercerita tentang Dolly. "Kami bebas mau cerita apa saja yang ingin kami ceritakan," tutur penggemar karya-karya Tisa T.S. itu. Pada buku kedua, barulah mereka berfokus untuk menulis kisah masa lalu sebagai anak eks lokalisasi Dolly.
Tajuk Ramadhan Syahdu di Dolly dipilih Devi untuk cerpen keduanya. Dia menggambarkan bagaimana kehidupan wanita tuna susila (WTS) yang pernah ditemui di sekitar rumahnya. Tidak semua seburuk yang dikira orang. Malah, mereka terbilang taat menjalankan perintah agama. Rajin salat dan aktif pengajian. "Mbak-mbak itu kadang terpaksa karena masalah ekonomi," ujarnya.
Ricky menulis soal cita-cita. Judul cerpennya Jika Aku Menjadi. Lewat cerpen itu, dia ingin memotivasi anak-anak lain. Khususnya anak-anak yang kini tinggal di Putat Jaya. Ricky melihat anak-anak saat ini jauh lebih beruntung daripada masanya dulu. Sudah ada tempat bermain di sekitar lokasi tersebut. Dia juga ingin menunjukkan bahwa anak-anak Dolly yang sering dicap negatif nyatanya bisa berprestasi. "Meskipun banyak yang putus sekolah, sebenarnya kami punya kemampuan," ujar Ricky yang terpaksa putus sekolah saat SMK. (debora/c6/ano)