Presiden Dinilai Gagal Lakukan Reforma Agraria
jpnn.com - JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gagal melakukan reforma agrarian. Menurut Sekjen KPA Iwan Nurdin, dari catatan pihaknya, sejak SBY memerintah telah terjadi sekitar 618 konflik agrarian di seluruh wilayah Indonesia.
Area konflik itu seluas 2.399. 314, 49 hektar. Selain itu, dalam konflik tersebut juga terdapat kurang lebih 31.342 kepala keluarga yang menjadi korban ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. "Pemerintahan SBY juga melakukan praktek liberisasi agraria yang menyebabkan konflik agraria terus menerus meningkat dan memakan korban jiwa,” tutur Iwan di Jakarta, Jumat, (27/9).
Kegagalan ini diperparah dengan tindakan aparat keamanan yang belakangan tidak melindungi masyarakata saat konflik agraria. Justru sebaliknya, aparat melakukan tindakan diskriminatif dan intimidasi pada masyarakat. Menurut catatan KPA sejak tahun 2004 hingga tahun 2012 konflik agraria mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 di antaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat. 44 orang meninggal akibat konflik agraria tersebut.
Akibat berbagai permasalahan yang ditimbulkan dari gagalnya reforma agraria itu, KPA meminta pemerintah segera membentuk lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di tingkat lokal dan nasional. Selain itu, pemerintah juga diminta meninjau ulang dan mencabut izin hak perusahaan yang telah mengakibatkan konflik agraria. Tanah dan lahan yang menjadi konflik dengan perusahaan, kata dia, harus diserahkan kepada koperasi milik kaum petani dan desa dalam skema pembaruan agraria.
Sementara itu, kepolisian dan TNI diminta menghentikan aksi represif dan kriminalisasi dalam menangani konflik agraria.
“Kami meminta membebaskan para petani, pejuang agrarian, dan lingkungan hidup yang sedang ditahan Polri dalam konflik agrarian,” sambung Iwan. Terakhir, KPA meminta pemerintah menghentikan proyek liberalisasi pangan yang selama ini merugikan petani dan menguntungkan negara dan perusahaan asing. (flo/jpnn)