Proporsional Tertutup
Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RIjpnn.com, JAKARTA - Dua hari yang lalu, saya mendapat pesan WhatsApp (WA) dari wartawan salah satu media nasional di Jakarta.
Dia bertanya, apakah saya setuju Pemilu Legislatif dengan sistem proporsional tertutup?
Pertanyaan singkat. To the point.
Seolah saya hanya punya jawaban: setuju dan tidak setuju. Setuju karena apa? Jika tidak setuju karena apa?
Tentu saya tidak akan jawab dengan singkat, seperti itu.
Saya harus menjelaskan dengan utuh, karena soal ini menjadi diskursus publik yang kuat.
Apalagi banyak kalangan muda, aktivis dan pegiat medsos yang membicarakan soal ini.
Memang sekilas lebih banyak yang kontra sistem proporsional tertutup.
Ada yang menyebut kemunduran demokrasi. Bahkan ada yang bilang anti demokrasi.
Bagi saya, terbuka atau tertutup adalah pilihan saja. Setiap pilihan tersebut sama-sama bisa ideal.
Sama-sama juga bisa tidak ideal, karena yang harus kita uji adalah variable ikutannya.
Proporsional terbuka secara ideal harus diikuti dengan variable independensi anggota dewan terpilih, baik itu anggota DPR maupun DPRD.
Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ancaman re-call atau PAW, apabila tidak sejalan dengan ‘kebijakan’ partai politik.
Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ‘satu suara’ fraksi dalam menyikapi kebijakan pemerintah.
Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ‘arahan’ ketua umum atas pilihan sikapnya.
Mengapa batu uji variable tersebut penting?
Sebab, sistem proporsional terbuka itu memberi ruang kepada calon legislatif di masing-masing daerah pemilihan untuk mengikat janji atau membangun komitmen dengan para pemilihnya.
Komitmen untuk memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi pemilihnya.