Quick Count Bisa Salah, Tapi Tak Mungkin Bohong
jpnn.com, JAKARTA - Tuduhan-tuduhan negatif yang ditujukan kepada 12 lembaga survei yang melakukan perhitungan Quick Count pada Pemilihan umum dan Pemilihan Presiden 2019, dinilai sejumlah akademisi sebagai tuduhan yang mengada-ada dan tidak mendasar.
Hal ini terungkap pada Talk show Quick Count Di Mata Akademisi yang diadakan Alumni Orange dan Alumni Prodi Abi Unika Atmajaya Jakarta, di Kampus Semanggi Unika Atmajaya, Jakarta.
Akademisi Universitas Padjajaran, Muradi Clark, menyatakan tuduhan-tuduhan terhadap lembaga survei tersebut memang sengaja dihembuskan salah satu pihak yang menginginkan menang dengan menghalalkan segala cara.
“Ada 3 narasi yang dibangun, yaitu pokoknya harus menang, ada kecurangan dan perang. Narasi itu sengaja dihembus untuk membuat ketakutan di masyarakat, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan kepada seluruh elemen penyelenggara pemilu, termasuk kepada lembaga survei yang melakukan quick count,” ujarnya.
Senada dengan Muradi, Akademisi Unika Atmajaya, Daniel Yusmic, menilai ada pihak yang mengelola narasi-narasi ketakutan yang berupaya mendelegitimasi pelaksanaan pemilu.
“Ini telah mendowngrade sebuah penelitian ilmiah melalui opini-opini yang dibangun. Saya meyakini, tuduhan tersebut tidak mendasar karena kesalahan mungkin saja ada, tapi penelitian tidak pernah berbohong, kata Daniel.
Sementara, Direktur eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, menjelaskan Quick Count digunakan pertama kali dilakukan di Indonesia sejak pemilu 2004 dan tidak memiliki masalah yang berarti.
“Quick Count sejak tahun 2004 telah digunakan termasuk di ribuan Pilkada di Indonesia dan tidak pernah ada masalah, kecuali hasil quick count yang dilakukan oleh 3 lembaga survei yang memenangkan salah satu calon pada pemilihan presiden 2014,” ungkapnya.