Quo Vadis Penegakan HAM di Papua?
Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH, M.Hum (Anggota DPD RI Dapil Papua Barat)Bila mau ditarik ke belakang, pada tahun 2018, Komnas HAM pernah melakukan pertemuan dengan Komisioner tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Zeid Ra’ad Al Hussein, untuk membahas permasalahan strategis terkait isu HAM di Indonesia.
Salah satu permasalahan yang dibahas adalah penyelesaian HAM masa lalu. Pertanyaannya, seberapa jauh kebijakan Pemerintah berdampak terhadap penegakan HAM di Tanah Papua?
Terlalu banyak nuansa pendekatan keamanan yang diadakan oleh Pemerintah dalam menghadapi persoalan di Papua yang tidak berdampak signifikan bagi penyelesaian Papua, terutama kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Celakanya, Pemerintah seperti menutup mata terhadap hal ini.
Mengapa penegakan HAM jauh lebih penting di atas semua program yang lain? Ketika Universal Declaration of Human Rights dideklarasikan pada 10 Desember 1948, hal pertama yang dipikirkan ialah harga diri manusia. Harga diri manusia adalah prinsip dasar HAM, yang menyatakan bahwa semua orang layak untuk dihormati, semata-mata karena mereka adalah manusia.
Terlepas dari usia, budaya, agama, etnik asal, warna kulit, jenis kelamis, orientasi seksual, bahasa, kemampuan, status sosial, status civil atau keyakinan politik, semua individu layak untuk dihormati. Harga diri manusia inilah yang menjadi titik tolak dari peradaban. Ukuran kemanusiaan manusia terletak pada penghormatan pada harga diri.
Tanah Papua, Orang Asli Papua, merupakan wajah peradaban yang harus dihormati harga dirinya. Konflik-konflik yang terjadi hanya mengafirmasi dan mengulangi ritme pelanggaran HAM.
Sementara gerakan militerisme masih terus berlanjut hingga ke pelosok gunung-gunung Papua. Bagaimana mungkin kita mengimpikan dunia tanpa senajat dan kekerasan di Tanah Papua, bila senjata selalu dikedepankan?
Pemerintah seharusnya meletakkan kembali setiap kebijakan ke ruang penegakan HAM di Tanah Papua.