Rakyat Hanya Bisa Melihat Pemimpinnya setelah Dilantik
"Saya menilai, pilkada langsung hanya berlangsung efektif 4tTahun masa kepemimpinan. Sebab, tahun akhir jabatan, acap kali antara kepala daerah dan wakilnya melakukan manuver politik masing-masing untuk ambisi menjadi pemenang di pilkada selanjutnya," tutur Aidil.
Pilkada langsung juga berpengaruh terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada di bawah "kekuasaan" kepala daerah.
"Siapa yang jadi tim sukses saat kampanye otomatis dapat jabatan strategis. Ini yang sebenarnya merusak demokrasi substantif," terang Aidil.
Belum lagi, lanjut Aidil, kecenderungan pilkada langsung dapat memicu terjadinya konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi, karena berbedanya pilihan antara masyarakat.
Magister Hukum Islam UIN Syarifhidayatullah ini menilai, "kembali lahirnya" pilkada tidak langsung atau pilkada via DPRD ini sebetulnya dapat menjadi solusi suramnya demokrasi di Indonesia. Namun, tentu dengan aturan main jelas dan dilakukan dengan asas keterbukaan, profesional, dan akuntabel.
Bahkan, terang Aidil, dalam Konbes Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 2012 lalu, telah memberikan rekomendasi untuk memilih kepala daerah melalui DPRD.
Di sisi lain, berlansungnya nanti pemilihan kepala daerah via DPRD juga menjadi "beban" pemikiran tersendiri bagi KPU Kabupaten Solok, meski keberadaan KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu dipastikan tetap ada.
"Sebagai penyelenggara Pemilu dan Pemilu Kada, pihak KPU di Kabupaten ataupun Kota akan menunggu instruksi dan kebijakan dari pusat. Kita akan tetap berperan, sesuai tupoksi yang dibebankan nanti," kata Divisi Sosialisasi KPU Kabupaten Solok, Jons Manedi. (rc/sam/jpnn)