Rancangan Peraturan Cukai Kantong Plastik Sarat Kepentingan?
jpnn.com, JAKARTA - Ketua Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan (KPPRL) Indonesia Puput TD Putra mempertanyakan rencana pemerintah mengunakan tarif cukai ke kantong plastik kresek ke semua jenis, tanpa membuat naskah kajian secara profesional dan holistik.
Seharusnya kata dia, pemerintah menerapkan cukai pada kantong plastik konvensional yang tidak memiliki SNI ramah lingkungan, karena beban lingkungan yang ditimbulkan dengan terjadinya polusi plastik dan proses terurai yang memakan waktu lama.
"Dalam kajian kami di Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia, kami menduga kuat ini bagian akal-akalan kepentingan kebijakan para stake holder tertentu untuk memenuhi hasrat, termasuk Eropa untuk masuk ke pasar Indonesia melalui bisnis bioplastik dengan teknologi yang mahal dan membebani masyarakat Indonesia, karena mahalnya ongkos produksi dan karakteristik TPA2 kita di Indonesia yang berbeda dengan tata kelola pengelolaan sampah di dalam negeri," duganya.
Padahal untuk kantong plastik ramah lingkungan sudah diterbitkan Ekolabel Type 1 SNI dan Type 2 Swadeklarasi Kantong Ramah Lingkungan oleh PUSTANLINGHUT KLHK dan juga SNI 7188.7-2016 kategori produk tas belanja plastik dan bioplastik mudah terurai.
"Di dalamnya sudah ada pilihan-pilihan teknologi ramah lingkungan baik bioplastik maupun oxo-biodegradable yang memenuhi uji standar test internasional. Mengapa pengecualian cukai ini tidak mengacu ke SNI tersebut yang sudah dibuat oleh KLHK sendiri, sehingga tidak seakan-akan setiap kementrian mendefinisikan apa yang ramah lingkungan dan apa yang tidak, sehingga menjadi konflik informasi di masyarakat multi tafsir kepentingan," serunya.
"Ironis juga kalau produk yang sudah SNI kantong belanja ramah lingkungan dikenakan cukai," imbuhnya.
Isi dalam RPP tersebut juga mengindikasikan adanya ketidaklengkapan informasi yang didapat para pembuat kebijakan dan lebih buruknya bisa diinterprestasikan sebagai titipan kebijakan untuk beberapa kalangan tertentu.
"Dalam pembuatan kebijakan aspek keadilan dan objektivitas perlu diterapkan sehingga menjadi win-win solution untuk semua pihak yang terkait baik masyarakat, pemerintah, maupun kalangan industri/pengusaha demi keberlangsungan lingkungan hidup yang berkeadilan dan lestari," tandasnya.(chi/jpnn)