Regulasi Kepailitan & Insolvensi Dinilai Masih Perlu Penyempurnaan
jpnn.com, JAKARTA - Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 yang digelar pekan lalu menjadi langkah awal untuk mempertemukan para ahli hukum dan keuangan Indonesia, maupun internasional untuk berdiskusi secara terbuka mengenai prosedur insolvensi dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), mengingat pentingnya keduanya bagi ekosistem bisnis dan keuangan.
Sekretaris Kementerian BUMN Rabin Indrajad Hattari dalam pidatonya menegaskan Kementerian BUMN berkomitmen menjadikan ekosistem usaha BUMN berkelanjutan, sehingga semakin dapat memberikan dampak ekonomi dan sosial kepada masyarakat.
Rabin menyatakan PKPU sebagai salah satu solusi, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi alternatif proses restrukturisasi, asalkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan spesifik perusahaan.
“Namun, mengingat keterbatasan waktu, kepentingan kreditur, kemampuan perusahaan, dan unsur keuangan negara yang melekat pada entitas BUMN, maka proses PKPU perlu dilakukan dengan persiapan yang matang dengan memitigasi risiko dan mengedepankan tata kelola yang baik,” ungkapnya.
Oleh karena itu, para pemangku kepentingan harus memiliki pemikiran yang sama ketika menghadapi persoalan kepailitan dan PKPU di lingkungan BUMN dan mendukung proses restrukturisasi, sehingga perusahaan dapat pulih dan mampu mempertahankan kelangsungannya di masa depan.
Dari sisi makro, undang-undang yang mengawasi PKPU juga harus diperbaiki agar tidak terjadi silo dalam proses restrukturisasi ini.
Semua pihak perlu memikirkan kembali dan mempertimbangkan perubahan UU Kepailitan yang ada.
Rabin berharap Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 bisa menjadi forum diskusi yang konstruktif sehingga dapat menghasilkan ide dan solusi untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan payung hukum yang adaptif dengan perkembangan dan dinamika dunia.