Rela Makan Hanya dengan Garam demi Anak jadi Sarjana
jpnn.com - KASIH ibu tak terhingga sepanjang masa. Ungkapan itu sepertinya pas untuk menggambarkan perjuangan Nana Muhana (76) yang membesarkan dan menyekolahkan delapan anaknya hingga sarjana.
---------
Laporan: PATRICK, Bogor
---------
Nana Muhana (76), warga Kampung Sumur Wangi, RT 02/09, Kelurahan Kayu Manis, Kecamatan Tanah Sareal, Bogor, ini hanya mengandalkan penghasilannya sebagai buruh serabutan untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga menyandang gelar sarjana.
Tak jarang, wanita berdarah Pariangan ini harus menikmati nasi dan garam agar buah hatinya itu dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Jatuh bangun Nana Muhana dan suaminya, Ustadi (alm), menghidupi keluarganya. Untuk makan sehari-hari dan menyekolahkan anak, ia hanya mengandalkan dua penghasilan yang tak jelas dari penghasilan bercocok tanam di lahan orang dan saat sore hari menjadi guru ngaji.
Dari pagi hingga siang hari, Nana membantu suaminya bercocok tanam di lahan seluas 300 meter persegi. Lahan itu benar-benar dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dirinya menanam padi, pepaya, ubi dan singkong. Itu pun keuntungan hasil penjualan harus dibagi kepada si pemilik lahan.
Sementara pada sore hari, Nana mencari penghasilan lain dengan mengajarkan mengaji ibu dan anak di sekitar rumahnya. Meskipun begitu, Nana tak pernah mengeluh atau pun putusasa. Jusru, ia malah semakin tegar menghadapi cobaan Tuhan yang diberikan kepadanya.
Nana pun terpukul etika harus menghidupi buah hatinya itu seorang diri. Pasalnya, suaminya, Ustadi, meninggal dunia, dengan meninggalkan satu anak perempuan bernama Badriah. Tak hanya guncangan jiwa yang dialami wanita ini, kondisi ekonominya pun semakin gonjang-ganjing.
Meskipun begitu, senyum wanita ini tetap terlihat mengembang, seolah tak ada beban dan terus mensyukuri nikmat sang pencipta yang diberikan kepadanya. Selang beberapa tahun, Nana menemukan belahan jiwanya. Kondisi ekonomi Nana mulai terbantu dengan kehadiran Muslim (77) sebagai teman hidupnya.
Namun, Nana tetap masih menekuni pekerjaan yang sama. Begitu pula dengan suaminya. Muslim bekerja sebagai buruh tani, serupa dengan suami pertamanya. Dari perkawinannya dengan Muslim, Nana dikaruniai tujuh anak, terdiri atas empat laki-laki dan tiga perempuan, yakni Mashut, Elwani, Sopiah, Doni, Istikhori, Ali Mustofa, dan Tasyiah.
Sepasang suami istri ini harus menghidupi delapan anak di sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Namun, keluarga miskin ini tetap bertahan menantang kerasnya dunia dengan terpaksa memeras keringat dan banting tulang di ladang orang.
Tak jarang, Nana dan Muslim harus makan dengan nasi dengan lauk garam agar dapat menyisihkan penghasilannya untuk biaya sekolah anak. Bahkan, dirinya rela makan satu hari sekali agar bisa tetap menabung untuk membiayai sekolah si buah hati
.“Nasi garam menjadi hal yang biasa untuk dinikmati saya dan suami. Kami terpaksa melakukan itu agar anak saya tak menjadi generasi yang putus sekolah, seperti saya,” ucap Nana Muhana saat ditemui Radar Bogor (Grup JPNN) di rumahnya, kemarin.
Menurutnya, warisan yang berarti bagi si buah hati adalah ilmu pengetahuan. Sebab, dengan ilmu, seseorang akan jauh dari garis kemiskinan dan dapat bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya. “Saya tidak ingin anak saya harus putus sekolah seperti saya. Sebab, bagaimanapun penerus saya harus lebih baik daripada keadaan saya saat ini,” ucapnya sambil sesekali meneteskan air mata.
Kini kedelapan anaknya itu kondisinya lebih baik daripada kondisi ibunya di masa lalu. Badriah anak pertamanya lulusan S1 UIKA dan kini menjadi guru SD di Budi Agung. Sementara anak keduanya, Mashut menyandang gelar Sarjana Pendidikan di UIKA dan kini menjadi ketua di sebuah yayasan swasta.
Kemudian, Elwani lulusan SMA dan kini bekerja di sebuah posyandu. Selanjutnya, Sopiah lulusan Diploma 3 di Universitas Pakuan (Unpak) dan menjadi guru tsanawiyah. Sementara Doni menyandang gelar sarjana jebolan Universitas Islam Negeri (UIN).
Kemudian Tasyiah sampai jenjang Madrasah Aliyah (MA) dan kini bekerja menjadi guru di sebuah sekolah. Selanjutnya yang terakhir Istikhori kuliah sampai S2.
Nana dan Muslim kini tersenyum lebar. Perjuangannya menghidupi kedelapan anaknya membuahkan hasil. Hal ini terlihat dengan kondisi buah hatinya yang jauh lebih baik dibandingkan kondisi ekonomi Nana beberapa tahun lalu. Bahkan, kemajuan anaknya itu membawa berkah bagi dirinya dan suami.
Ekonomi kedua orang tua ini jauh lebih baik dari beberapa tahun silam. Kini ia masih menekuni aktivitas keagamaannya sebagai guru ngaji. Bahkan, Nana aktif di dalam sebuah Majelis Taklim (MT) Nurul Huda. Terkadang wanita yang sudah mulai bungkuk ini kerap kali menyempatkan diri ke pondok pesantren milik anaknya yang bernama Darul Mutaqin.
Tak jarang, sesekali ia menghabiskan waktu dengan bercengkrama bersama cucunya, saat cucunya itu meluangkan waktu datang ke rumahnya yang penuh dengan kesederhanaan.(*)