Relasi Desa dan Kota Masih Tidak Adil
jpnn.com, JAKARTA - Keterkaitan atau relasi antara desa dan kota saat ini dinilai tidak adil sehingga perlu dilakukan berbagai pendekatan untuk menekan ketimpangan tersebut. Adapun relasi tersebut masih menempatkan desa dalam posisi marjinal, baik dalam konteks demografi, ekonomi, transaksi, dan relasi sosial politik.
Demikian disampaikan Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Ahmad Erani Yustika di Jakarta. Jumat (24/3) dalam acara bedah buku Menjalin Desa-Kota: Upaya Membangun Indonesia dari Pinggiran yang ditulis Harry Heriawan Saleh. Buku ini merupakan salah satu bagian dari pengalaman atas berbagai upaya membangun dari pinggiran di Kabupaten Sumba Timur (NTT), Lampung Barat (Lampung), dan Banjar (Kalimantan Selatan).
Bedah buku dihadiri juga oleh Dirjen Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kemendes PDTT Roosari T Wardhani, Ketua DPRD Sumba Timur (NTT) Palulu P Ndima, dan Sekretaris Daerah Pemkab Sumba Timur Juspan, pakar perencanaan pembangunan ITB Prof Tomy Firman, Kepala Divisi Sekretariat Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta sejumlah praktisi dan pemerhati pembangunan desa.
“Relasi demografi, ekonomi, transaksi, dan sosial politik belum menunjukkan kesetaraan desa dan kota,” ujarnya.
Menurut Erani, dalam relasi demografi menunjukkan ada krisis aktivitas manusia di pedesaan. Pada masa tertentu, desa mengalami paceklik tenaga kerja dan belum bisa mengandalkan teknologi. Demikian juga dalam relasi ekonomi terlihat bahwa kondisi desa harus dijaga dari berbagai kepungan.
Selain itu, dalam relasi transaksi, kota menjadi predator terhadap desa lewat transaksi yang tidak seimbang dan tidak adil. Contohnya, sektor pertanian di desa dikembangkan dengan segala keringat dan air mata lalu dijual kepada konsumen perkotaan dengan margin yang begitu besar dinikmati masyarakat kota. “Situasi ini yang tidak pernah diatur dengan jelas,” katanya.
Lalu berikutnya adalah relasi sosial politik dimana masyarakat desa hanya menjadi konversi suara untuk kepentingan politik lima tahunan.
“Setelah kepentingan politik berlalu maka masyarakat desa seakan-akan ditinggalkan dan selama lima tahunan desa tersebut jarang diperhatikan,” ujarnya.