RJ Lino Didakwa Rugikan Negara USD 1,99 Juta
jpnn.com, JAKARTA - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa eks Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Richard Joost Lino melakukan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) pada PT Pelindo II pada 2011. KPK juga meyakini ada kerugian negara akibat perbuatan pria yang akrab disapa RJ Lino itu.
"Kerugian keuangan negara cq PT Pelindo II (Persero) sebesar USD 1.997.740,23," kata Jaksa saat membacakan surat dakwaan RJ Lino di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Senin (9/8).
Jaksa dalam perkara ini di antaranya Ariawan Agustiartono, Wawan Yunarwanto, dan Nur Haris Arhadi.
Menurut jaksa, tindak pidana korupsi itu dilakukan RJ Lino dengan cara mengintervensi proses pengadaan Quayside Container Crane (QCC) dengan menunjuk Wuxi Hua Dong Heavy Machinery Science and Technology Group Co. Ltd. (HDHM) sebagai perusahaan pelaksana proyek.
Tindak pidana korupsi itu pun dilakukan bersama dengan Diektur Operasi dan Teknik PT Pelindo II Ferialdy Norlan selaku dan Chariman HDHM Weng Yaogen.
Tindakan para pihak itu bertentangan dengan Pasal 2 Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN; Pasal 1, Pasal 3 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) SK Direksi Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 pada 9 September 2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelindo I.
"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," kata jaksa.
Dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan RJ Lino bermula saat PT Pelindo II mengadakan lelang pengadaan crane untuk Pelabuhan Panjan, Pontianak, dan Palembang. Namun, tak kunjung mendapatkan pemenang.
Kemudian, PT Pelindo II membuka lagi proses pelelangan pada April 2009 dengan merubah sperifikasi crane single lift QCC berkapasitas 40 ton. Meski demikian, tak ada satu pun peserta lelang.
Hingga akhirnya, PT Pelindo II menunjuk langsung langsung PT Barata Indonesia sebagai pemenang lelang. Akhirnya, terjadi negosiasi antara PT Pelindo II dengan PT Barata Indonesia.
Namun, saat proses negosiasi berlangsung RJ Lino justru mengundang PT HDHM untuk melakukan survei langsung ke beberapa pelabuhan tersebut.
"Perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan prinsip adil dan wajar sebagaimana Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 dan SK Direksi PT Pelindo II Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 Tanggal 9 September 2009 yaitu prinsip adil dan wajar," kata jaksa.
Hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) SK Direksi PT Pelindo II Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 Tanggal 9 September 2009.
Bahkan untuk memuluskan rencananya, RJ Lino menyuruh bawahannya, Wahyu Hardiyanto, mengubah SK Direksi Nomor HK.56/5/10/PI.II-09 Tanggal 9 September 2009 tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan PT Pelindo II.
Hingga akhirnya, PT HDHM terpilih sebagai pihak pengadaan. Sehingga, dalam pengadaan itu PT Pelindo II harus membayar USD 15.165.150.
"Harga wajar sebenarnya USD 13.579.088,71, sehingga menyebabkan terjadinya kemahalan harga pembelian tiga unit Twinlift QCC dari HDHM sebesar USD 1.974.911,29," kata jaksa.
Dalam kasus ini, RJ Lino didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (tan/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!