Rudi Rubiandini Dituding Pendukung Asing
JAKARTA - Penangkapan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini oleh KPK sebenarnya tak terlalu mengherankan sebab mantan Wakil Menteri ESDM tersebut dikenal pro pada kepentingan asing. Polemik pengelolaan Blok Mahakam di Kalimantan Timur adalah contoh nyata betapa pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat tersebut justru lebih memihak operator migas asal Prancis, Total E & P dibanding negaranya sendiri.
Hal ini bisa dilakukan sebab kewenangan yang dimiliki satuan kerja yang dulu bernama BP Migas ini, sangat besar namun tergolong minim pengawasan pihak luar sebab hanya diawasi pemerintah sendiri. Untuk kasus Blok Mahakam, menurut pengamat perminyakan Kurtubi, lewat pernyataan-pernyataannya, Rudi dinilai kerap memojokan Pertamina dan pemerintah Kaltim dengan mengatakan ragu keduanya mampu mengambil alih pengelolaan lahan kaya gas bumi di Kabupaten Kutai Kartanegara itu, karena keterbatasan SDM sampai terbatasnya dana untuk aktivitas eksplorasi migas yang nilainya jutaan dolar.
"Itu pembodohan," kata pengamat migas dari Center for Petroleum and Energy Economic Study (CPEES) itu saat dihubungi Rabu (14/8).
Selain soal keterbatasan SDM dan anggaran, lanjut Kurtubi, Rudi juga seolah sengaja memunculkan keresahan di antara karyawan Total dengan mengatakan mereka akan langsung di-PHK begitu diambilalih Pertamina. Menurut Kurtubi, lazim dilakukan di negara manapun, bekas karyawan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) seperti Total akan terus dipekerjakan oleh pihak pengambil alih (Pertamina) dengan tujuan agar produksi migas terus berjalan.
Terkait sikap pemerintah yang menyerahkan nasib pengelolaan Blok Mahakam ke pemerintahan hasil pemilu 2014, menurut Kurtubi jelas merupakan akal-akalan sebab memberi peluang pada pihak yang ingin bermain agar kontrak tak diserahkan ke Pertamina.
Senada dengan Kurtubi, pengamat perminyakan Marwan Batubara mengatakan, semasa masih menjabat Kepala SKK Migas, Rudi dinilai justru mendukung kepentingan asing dengan mengatakan Pertamina tak mungkin mampu mengelola Blok Mahakam.
"Kalau Pertamina sudah menyatakan mampu seharusnya didukung, bukan malah menyebar kebohongan seolah tak mampu," ucap Marwan yang dihubungi terpisah. Direktur Eksekutif Institute Resourcess Studies (IRESS) ini menambahkan, sikap pemerintah yang tak kunjung memutuskan pihak mana yang berhak mengelola Blok Mahakam merupakan langkah tak bijak, karena mengganggu kelangsungan investasi asing maupun Pertamina yang sudah menyatakan mampu mengambilalih. "Sama sekali tak memberikan kepastian bagi Total maupun Pertamina," ucapnya.
Dengan kata lain, lanjut Marwan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak mendukung kepentingan negaranya sendiri. Mantan anggota DPD RI periode 2004-2009 ini juga pesimistis akan terjadi perubahan mendasar dari cara kerja SKK Migas jika pengganti Rudi diambil dari satuan kerja itu sendiri. Alasan utamanya, SKK Migas hanya diawasi orang-orang dari eksekutif seperti Kementerian ESDM dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), bukan dari Pertamina, KPK, BPK, kepolisian atau pihak independen.
Pada pertengahan Januari lalu, Rudi sempat tak setuju dengan keinginan Pemprov Kaltim yang mengincar 50 saham Blok Mahakam. Menurut dia, lebih baik uang pembelian saham tersebut digunakan untuk membangun daerah bukan investasi di sektor hulu migas. Alasan lain, investasi migas risikonya sangat besar sehingga jika gagal biaya yang sudah dikeluarkan bakal hangus.
Sebelum Lebaran lalu, pemerintah Prancis sempat mengutus Menlu Laurent Fabius untuk menanyakan kejelasan nasib Total di Blok Mahakam yang kontraktaknya habis 2017 kepada Menteri ESDM Jero Wacik. Sesuai aturan seharusnya pemerintah sudah memutuskan pihak mana yang berhak mengelola 5 tahun sebelum kontrak habis atau tahun 2012 lalu. (pra/jpnn)