Said Abdullah Minta Pemerintah Antisipasi Dampak Perang Dagang AS - Tiongkok
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah memperkirakan tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih belum mereda sebagai dampak dari kondisi ekonomi global yang belum membaik.
Selain imbas dari normalisasi kebijakan moneter The Fed, pelemahan rupiah juga dipicu perang dagang antara China atau Tiongkok dan AS yang kemudian menjadi perang mata uang (currency war)
“Kondisi ini melemahkan nilai tukar rupiah. Makanya proyeksi nilai tukar dalam RAPBN 2020 diusulkan pada angka Rp 14.400 sangat rasional,” ujar Said di Jakarta, Senin (19/8).
Saat menyampaikan Keterangan Pemerintah Atas RUU tentang APBN 2020 beserta Nota Keuangannya, Pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi pada 2020 mendatang berada pada tingkat 5,3 persen dengan konsumsi dan investasi sebagai motor penggerak utamanya. Inflasi akan tetap dijaga rendah pada tingkat 3,1 persen untuk mendukung daya beli masyarakat.
Adapun nilai tukar rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp14.400 per dolar Amerika Serikat.
Said menilai pemerintah moderat mematok kurs rupiah di RAPBN 2020. Hal ini menunjukkan rupiah masih akan mengalami tekanan pada tahun 2020. Faktor eksternal kebijakan suku bunga The Fed serta perang dagang AS dan China akan tetap berdampak signifikan terhadap nilai tukar rupiah di 2020.
“Masih rentannya fundamental ekonomi nasional, lemahnya ekspor, arus modal investasi melambat, menjadi titik lemah rupiah dan tetap akan mempengaruhi kinerja rupiah tahun 2020,” jelasnya.
Said meminta pemerintah menyiapkan grand strategi mengantisipasi dampak perang dagang AS dan China ini. Sebab, efek berlanjutnya perang dagang AS dan China berpengaruh signifikan terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Pasalnya, China dan AS merupakan negara tujuan ekspor Indonesia terbesar.