Salah Kaprah Kepala Daerah soal Smart City, Kurang Cerdas
jpnn.com - Soal smart city alias kota pintar, Indonesia sebenarnya juga punya. Pemerintah Indonesia memiliki Gerakan Menuju 100 Smart Cities. Sayang, tak semua penggagas program smart city di Indonesia "cerdas".
Pakar kota pintar dari ITS Tony Dwi Susanto mengatakan bahwa konsep smart city di Indonesia masih rancu. Banyak kepala daerah yang mengira konsep tersebut adalah perlombaan menerapkan teknologi termutakhir.
"Pertanyaan yang biasa muncul adalah apa sih alat yang paling canggih. Itu salah," ungkap ketua peneliti e-Government & IT Governance Research Group ITS tersebut kemarin (8/12).
Dia menegaskan bahwa inti program kota pintar adalah menemukan cara cerdas memodernkan kota dengan menerapkan teknologi yang pas. Terkadang, mengadopsi sistem yang berhasil memajukan kota di luar negeri tidak tepat.
Sistem tersebut belum tentu punya efek yang sama saat diterapkan di Indonesia. Itu disebabkan faktor kondisi dan budaya yang berbeda.
Tony lantas mencontohkan teknologi panic button di Surabaya sebagai adopsi teknologi yang tidak pas. Jarang ada masyarakat yang berani memencet tombol di tiang tersebut. "Masyarakat takut. (Mereka mengira) jika salah pencet, malah mereka yang dihukum," ungkapnya.
Justru, program e-kentongan yang diusung pemerintah Sidoarjo lebih cocok. Sistem tersebut lebih bersifat peringatan untuk warga satu RT. Jadi, jika melihat orang mencurigakan, warga bisa berkumpul untuk membicarakan dengan baik. "Terkadang, teknologi yang mencampurkan kearifan lokal justru lebih efektif," ungkapnya.
Tentu saja, tujuan akhir program smart city adalah mengintegrasikan semua aspek kota dalam satu sistem. Untuk mencapai tahapan itu, perlu infrastruktur yang memadai. Misalnya, CCTV dan sensor. Namun, hal itu bakal sia-sia jika teknologi yang diperoleh tak sesuai dengan solusi yang diperlukan. (bil/c7/hep)