Satu Jam Bertemu Jokowi, Aktivis Perempuan Menangis
jpnn.com - JAKARTA - Keputusan penundaan eksekusi mati terpidana mati asal Filipina Mary Jane bersumber dari istana. Putusan Presiden Joko Widodo di-last minute jelang regu tembak di Nusakambangan melaksanakan tugasnya tersebut, setelah mempertimbangkan masukan dari sejumlah pihak.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengungkapkan, input yang menjadi pertimbangan ke presiden khususnya seputar proses hukum yang kini sedang berjalan di negara asal Mary Jane. Yaitu, tentang penyerahan diri seseorang warga Filipina kepada polisi setempat yang mengaku sebagai perekrut dalam kasus dugaan trafficking terhadap Mary Jane.
"Sehingga harus dipastikan Mary Jane mendapat keadilan," tutur Pratikno, dalam pernyataan tertulisnya, kemarin (29/4).
Oleh sejumlah pihak, lanjut dia, presiden juga mendapat masukan kalau warga Filipina dengan latarbelakang keluarga petani itu bukan aktor yang terlibat langsung dalam kasus penyelundupan narkoba.
Dia yang ditangkap di Jogjakarta pada 2010 lalu setelah ketahuan membawa paket narkoba seberat 2,6 kilogram, justru dianggap sebagai korban kasus perdagangan manusia.
Mantan rektor UGM itu juga sempat menyinggung tentang pertemuan Presiden Filipina Benigno Aquino III dengan Jokowi di sela-sela penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-26, di Malaysia, 27 April lalu.
Pada saat itu, Aquino juga sempat menyampaikan posisi Mary Jane yang bukan merupakan aktor utama. Ketika itu, sempat pula disampaikan kabar tentang aktor utama yang sudah menyerahkan diri.
Setiba di tanah air, presiden kembali mendapat masukan tersebut dari sejumlah aktivis kemanusiaan. Menurut Pratikno, para aktivis tersebut selama ini memang terus menyertai presiden dalam melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya.
"Dalam kasus-kasus kemanusiaan, Presiden meminta agar para aktivis tidak lelah memberi masukan pada Presiden dalam mengambil keputusan," imbuhnya.
Diantara yang sempat ditemui Presiden Jokowi jelang pelaksanaan eksekusi yang dilakukan Rabu (29/4) dini hari adalah sejumlah aktivis dari Migrant Care, Komnas Perempuan, dan sejumlah kelompok buruh. Mereka bertemu dengan Jokowi di komplek Istana Kepresidenan, pada Selasa (28/4) siang.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan, kalau dalam pertemuan tersebut presiden tidak seketika menerima dorongan dari dirinya dan rekan-rekannya yang lain untuk melakukan penundaan hukuman mati. Jokowi memilih lebih banyak diam dan mendengarkan.
Dalam satu kesempatan, ungkap dia, Jokowi bahkan sempat menyinggung potensi kasus semacam yang dihadapi Mary Jane bisa dijadikan dalih bagi yang lain. Para gembong narkoba ketika tertangkap bisa saja beralasan kalau mereka juga adalah korban seperti Mary Jane.
"Tapi, saya tidak menyerah," kata Anis. Kepada presiden, dia sempat menyatakan, kalau bagaimana jika mereka memang benar merupakan korban trafficking atau kasus-kasus sejenis lainnya.
"Bagaimana pula jika itu merupakan warga negara kita?" kata Anis, mengulang apa yang disampaikannya ke presiden.
Masih kepada Jokowi, dia kemudian membeber panjang lebar tentang pengalamannya selama mendampingi buruh-buruh migran dari Indonesia yang terjerat kasus hukum di luar negeri. Menurut dia, banyak diantara mereka yang mengalami masalah sejenis seperti yang dihadapi Mary Jane.
"Saya sampai menangis menceritakan betapa sulitnya menyelamatkan nyawa teman-teman buruh yang sesungguhnya justru merupakan korban itu," ujarnya.
Namun, hingga pertemuan itu berakhir, Anis dan rekan-rekannya masih belum bisa menangkap apa sikap terakhir Jokowi ketika itu. Tidak ada kesimpulan apapun dari hasil pertemuan yang berlangsung sekitar 1 jam tersebut.
"Karenanya, putusan ini patut diapresiasi," kata perempuan yang kerap tampil dengan potongan rambut pendek itu. (aph/idr/dyn)