Sebelum Peristiwa Malari…Antara Mahasiswa, Soeharto & DI/TII
jpnn.com - Akhir 1973. Mahasiswa menggelar malam tirakatan di kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta Pusat. Ini momen penting jelang meletusnya Peristiwa Malari 1974.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Acara menjelang tahun baru itu seolah mendidihkan suasana.
Secara terbuka, sebagaimana diterangkan dalam buku Massa Misterius Malari, Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru terbitan Tempo Publishing yang ditulis Widiarsi Agustina, mahasiswa menyatakan sikap menentang modal asing.
Mahasiswa menolak rencana kunjungan Perdana Menteri Kakuei Tanaka ke Indonesia, 14 hingga 17 Januari 1974.
Hariman Siregar, Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI membacakan Pidato Pernyataan Diri Mahasiswa. Naskah pidato sepanjang enam halaman itu mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah Soeharto.
“Yang terjadi pada 1974 dan seterusnya ini hanyalah pengulangan sejarah sebelum kemerdekaan. Kita dijajah Jepang,” tandasnya.
Jumat, 11 Januari 1974
Tiga hari menjelang kedatangan Perdana Menteri Tanaka, Presiden Soeharto mengundang mahasiswa ke Istana.
Hari itu, sambil menanti di ruang tunggu wartawan di Gedung Bina Graha, sekitar 100 mahasiswa—perwakilan dari 35 pengurus Dewan Mahasiswa se-Indonesia--bersorak-sorak menyanyikan sindiran…
“di sana jepang di sini jepang di mana-mana modal jepang…” dan, “cangkul, cangkul, cangkul yang dalam, cukong yang subur wajib dikubur…”
“Presiden Soeharto tetap menebar senyum menyambut mereka,” tulis Widiarsi.
Hariman Siregar, dari Fakultas Kedokteran UI mula-mula meminta presiden menganggap mahasiswa sebagai anak. Sekejap kemudian, “anak-anak presiden” itu mulai memberondong sang ayah dengan kritik dan sederet pertanyaan.
Di samping menyoal modal asing, mahasiswa menyinggung sepak terjang dua asisten pribadi presiden; Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
“Mengapa modal asing tak disalurkan lewat jalur resmi. Malah melalui Soedjono. Soal Ali..,apa benar Ali Moertopo calo politik?” pungkas Muslimin M.T dari Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta.
Dalam pembicaraan tertutup selama dua jam itu, Soeharto lebih banyak mendengar.
“Ali dengan Operasi Khusus-nya mengintervensi pemilihan gubernur di sejumlah daerah. Setiap pencalonan gubernur selalu didahului surat-surat dari Opsus,” seru Michael Wangge, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Udayana, Bali.
“Semua tanggungjawab saya. Semua yang dilakukan oleh aspri atas sepengetahuan saya,” jawab Soeharto tenang.
14 Januari 1974
Senin malam itu pesawat yang menerbangakan Tanaka tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Puluhan mahasiswa menyambutnya dengan memblokade jalanan menuju bandara. Sebagian dari mereka bahkan berhasil menerobos sampai landasan pacu.
Mahasiswa membentangkan poster-poster. Begitu turun tangga pesawat, Tanaka disambut poster mencolok bergambar tanda dilarang masuk, bertuliskan, “Tanaka Out!”
***
Kesibukan meningkat di rumah Ramadi di Jalan Timor 14, Jakarta.
Pertemuan rahasia di rumah yang disulap menjadi kantor Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) mendadak ada rapat tiap hari. Rapat semakin sering digelar menjelang Peristiwa Malari.
“Rapat di rumah Ramadi bukan untuk membahas soal pembaruan pendidikan Islam. Pertemuan itu justru menyiapkan gerakan huru-hara,” tulis Heru Cahyono, dalam Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari.
Orang-orang binaan Ali Moertopo, terutama mantan aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), ungkapnya, sering bertandang ke sana.
Mereka antara lain, Danu Muhammad Hasan mantan Panglima DI Jawa Barat dan Ki Mansyur, yang disebut sebagai bekas Gubernur DI/TII. Anak Kartosoewirjo, Dardo Kartosoewirjo, juga dikabarkan sering datang.
Danu Muhammad Hasan, sebagaimana ditulis Solahudin dalam buku NII Sampai JI—Salafy Jihadisme di Indonesia, memang “terlibat dalam bersama tim Opsus melakukan proses pengkondisian, penggalangan, hingga menciptakan kerusuhan pada kasus Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974.”
Danu, ayah dari Hilmi Aminuddin, satu di antara ideology Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Baca: Ketua Majelis Syuro PKS Anak Panglima DI/TII
Dia, “bekerja di Bakin sekaligus di Opsus,” sambung Solahudin.
Danu dan kawan-kawan jugalah yang membuat selebaran gelap untuk pengkondisian umat Islam Indonesia untuk menyambut gerakan jihad fisabilillah paska Peristiwa Malari 1974.
Isu yang dihembuskan dalam selebaran gelap itu, berdasarkan arsip Kejaksaan Negeri Bandung, Tuntutan Pidana dalam Perkara Terdakwa Abdul Fatah Wiranagapati, Bandung, 23 Februari 1982, yang termuat dalam buku NII Sampai JI, tertulis sebagai berikut:
…disebutkan bahwa kaum Kristen akan mengkristenkan Indonesia. Selain itu Danu juga membuat selebaran soal ancaman komunisme. Disebutkan dalam selebaran itu bahwa puluhan kader komunis dari Cina telah disusupkan ke Indonesia. Mereka masuk ke Indonesia untuk mempersiapkan revolusi komunis yang akan dilakukan pada 1980.
“Pitut Soeharto, satu di antara orang kepercayaan Ali Moertopo di Opsus, dalam wawancara dengan Heru Cahyono, tak menyangkal jika sebagian orang binaan Ali di DI/TII terlibat dalam peristiwa Malari,” tulis Widiarsi Agustina.
“Pitut, yang ditugasi Ali menggarap berbagai kelompok Islam, juga tak membantah kabar bahwa orang binaan Ali kerap berkunjung ke kantor GUPPI beberapa hari sebelum Malari,” sambungnya.
Dalam rapat terakhir di Jalan Timor, sebagaimana termuat dalam buku Heru, diputuskan sasaran perusakan adalah mobil-mobil Jepang serta kantor Toyota Astra dan Coca-Cola.
“Gerakan itu juga akan dibungkus isu “bantulah mahasiswa” untuk menciptakan kesan bahwa kerusahan dilakukan mahasiswa,” tulisnya.
Dan… pada 15 Januari 1974, Jakarta berasap. Rusuh.
Kubu mahasiswa sendiri mengaku bahwa bakar-bakaran bukan bagian dari rencana aksi mereka.
Kemudian hari, entah bagaimana pastinya, perundingan-perundingan di Jalan Timor itu dituding sebagai otak yang menunggangi aksi mahasiswa sehingga meletuslah--meminjam istilah Widiarsi--rusuh politik pertama dalam sejarah Orde Baru. (wow/jpnn)