Sekolah Lima Hari Dikritik MUI, Begini Respons Muhadjir Effendy
jpnn.com, JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menanggapi biasa penolakan sejumlah pihak terhadap kebijakan sekolah lima hari. Termasuk kritik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Mantan rektor UMM itu menilai penolakan itu terjadi karena mereka belum menerima informasi yang utuh tentang Peraturan Menteri yang dia teken pada 9 Juni 2017 lalu. "Itu karena belum dapat informasi yang cukup," kata Muhadjir di kompleks Istana Negara, Senin (12/6).
Padahal, katanya, di Permendikbud-nya sudah dijelaskan bahwa dalam penyelenggaraan program penguatan karakter, sekolah dimungkinkan bekerjasama dengan lembaga pendidikan di luar sekolah.
"Termasuk madrasah, masjid, gereja, pura, sanggar kesenian, pusat olahraga, itu dimungkinkan," jelas dia.
Dengan demikian, kebijakan sekolah delapan jam sehari selama lima hari dalam sepekan, bukan berarti siswa selalu berada di sekolah, dalam kelas. Tapi ada kegiatan ekstrakurikuler di luar sekolah tanpa menggangu Kurikulum 2013.
"Pelaksanaannya tidak harus ada di kelas, tidak berada di sekitar sekolah, bisa di luar sekolah," tukas Muhadjir.
Target yang ingin dicapai dari kebijakan ini ada lima. Yakni penguatan religiusitas atau keagamaan, integritas, nasionalisme dan cinta tanah air. Kemudian kerja keras. Terakhir gotong royong dan toleransi.
"Kaitan dengan penguatan karakter keberagamaan, maka posisi Madrasah Diniyyah sangat penting. Sama sekali tidak ada pikiran menghilangkan, justru akan dijadikan partner sekolah untuk menguatkan program karakter," tambah Muhadjir. (fat/jpnn)