Setelah Istri Membawa Rezeki Scaffolding
Oleh Dahlan IskanDi Raqqa-lah Mohed ingin sekali sekolah. Seperti teman-temannya. Neneknya melarang. Tapi, Mohed diam-diam berangkat ke sekolah. Jalan kaki 6 kilometer. Tanpa alas kaki.
Setiap pulang Mohed dimarahi. ”Menggembala kambing tidak perlu ijazah,” kata sang nenek. Seperti umumnya anak Badui Arab, sang nenek juga harus menyiapkan sang cucu untuk jadi penggembala yang baik.
Mohed nekat. Di sekolah Mohed menemukan kebahagiaan. Juga menemukan pembebasan jiwanya. Dia menemukan cahaya. Yang akan bisa menerangi kegelapan sejarah kelahirannya. Tiap pagi dia cepat bangun. Agar keberangkatannya tidak dipergoki sang nenek.
Mohed juara sekolah.
Di semua jenjang. Sampai SMA.
Dia selalu dapat beasiswa. Termasuk saat lulus jadi sarjana. Pelajaran fisika dan matematikanya mengungguli seluruh negeri.
Pemerintah pun mengirimnya ke Prancis. Tapi, Mohed hanya bisa bahasa Arab. Maka dia harus belajar bahasa Prancis dulu di Montpellier. Enam bulan Mohed belajar bahasa di kota bibir pantai selatan Prancis ini.
Tentu itu belum cukup. ”Saat harus mulai kuliah di Paris, saya hanya mengerti 10 persen dari apa yang dikatakan profesor saya,” guraunya.