Setiap Bulan Pengemis Kirim Rp 2 Juta ke Kampung
”Anak saya Hamnon Assyaputra (15) saya titipkan kepada keluarga di Jatibarang, lalu yang kecil bernama Hafid (7) juga saya kasihkan ke adik saya di Batam. Jadi saya cuma sendiri di sini. Paling adik saya Karmini yang datang menjenguk,” katanya.
Selain Sukali, ada juga pengemis perempuan , namanya, Titin Sumiyatin (57). Wanita asal Subang Jawa Barat ini merupakan eks penderita Kusta tahun 1987. Ia lulus menyandang status bebas lepra atau Released From Treatment (berhenti minum obat kusta).
Namun, bertahun-tahun menjadi penderita membuatnya sadar jika ia tidak memiliki bekal bekerja. Dan mengemis adalah satu-satunya pekerjaan yang mudah baginya.
Teriknya matahari, tebaran debu dan asap knalpot kendaraan yang lalu lalang dan berhenti di jalan raya, seolah telah menjadi sahabatnya selama 30 tahun. ”Saya, biarpun mengemis begini, saya masih bisa dagang, mas,” katanya.
Selain dari mengemis, kehidupan Titin ditopang oleh usahanya berdagang kopi dan gorengan di atas bangsal ruangan bekas sekolah eks penderita kusta. Tubuhnya yang ringkih habis dimakan lepra hingga jari jemarinya menghilang dan memakai kaki palsu.
Dari hasil mengemis tersebut, ia mampu menghidupi tiga anaknya yang lulus hingga SMA. Belum lagi ia juga mendapat kiriman bulanan dari Purwani yang merantau ke Muaro Bungo, Jambi yang bekerja sebagai tukang kayu. ”Tapi sayangnya Erwin anak bontot saya belum mengambil ijazah, karena belum bayaran,” imbuhnya.
Mungkin banyak yang peduli. Pemerintah yang mendapatkan mandat Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya telah menjamin hak orang miskin. Namun sayang, Titin dan beberapa rekannya harus gigit jari karena beras untuk warga miskin (Raskin) tak sampai di rumahnya.
”Kalau sudah begini, kami yang kusta ini sudah diejek orang, diejek pula sama pemerintah,” ujarnya kepada Radar Banten (Jawa Pos Group).