Si Pembuat Bom Banting Setir Jadi Penyiar Radio
SEJUMLAH orang yang pernah terlibat perang saudara di Poso kini telah "pensiun". Para kombatan itu punya profesi baru yang berbeda-beda. Sebagian di antara mereka juga tengah berupaya mengubah citra seram Poso sebagai daerah konflik dan teroris.
--------------
GUNAWAN SUTANTO, Poso
-------------
JARUM jam menunjuk pukul 00.15 WIT. Sebuah mobil Nissan Terrano berhenti di pelataran Kartika Beach Hotel, Poso. Hotel itu berada di daerah Kayamanya yang terkenal sebagai zona merah, basis kelompok Islam saat konflik Poso pecah 16 tahun silam. Di wilayah itu kerap terjadi penangkapan orang-orang yang diduga teroris.
Dua orang turun dari mobil tersebut. Mereka adalah mantan narapidana (napi) terorisme Rafiq Syamsuddin dan Syafri alias Aco Gajah Mada (Aco GM). Tengah malam itu keduanya mengajak Jawa Pos berkeliling Poso.
Berada satu mobil bersama mereka membuat saya seperti sedang dicokok anggota polisi. Sebab, dandanan Rafiq dan Syafri mirip anggota reserse. Mereka membawa saya mengitari wilayah Poso kota. Di pusat kota itu ada beberapa titik yang merekam bagaimana konflik agama dulu terjadi. Misalnya Jembatan Smaker dan Pasar Poso.
"Di jembatan ini dulu kami mengambili jenazah santri yang pesantrennya (Pesantren Wali Songo) dibakar. Jenazah mereka dihanyutkan," ujar Rafiq.
Dia menunjukkan tempat terjadinya pengeboman hanya gara-gara ada mobil yang dicurigai ditumpangi warga Nasrani. "Tapi, semuanya itu dulu. Kini torang (kita) semua bersaudara," sambung Aco.
Mereka menunjukkan pula bagaimana bergeliatnya Poso meskipun tengah malam. Banyak anak muda yang nongkrong di kafe pinggir pantai. Di pinggir pantai itu berdiri kafe-kafe, mulai yang murni menjual makanan dan minuman sampai yang remang-remang. "Yang remang-remang itu kalau di Jakarta ya seperti di Jalan Jaksa lah," kelakarnya.
Perjalanan kami berhenti di kantor Radio Matahari milik Rafiq. Puluhan anak muda tampak berkumpul di sana. Di bagian kantor radio sekaligus rumah pribadi itu, Rafiq juga membangun tempat karaoke keluarga.
Kantor tersebut memang memiliki pelataran yang luas. Di bagian depan sisi kanan ada panggung terbuka dengan peralatan musik lengkap. Alat musik itu disediakan untuk anak-anak muda yang ingin menyalurkan kemampuan bermusiknya. Di sisi kirinya ada kafe dengan bangunan semipermanen yang dilengkapi fasilitas wifi dan perpustakaan mini.
Radio Matahari dibangun Rafiq pada 2006 atau dua tahun selepas dia keluar dari Rutan Poso atas kasus terorisme. Di kalangan kombatan, Rafiq dikenal sebagai pembuat peralatan perang. Dia memiliki bengkel yang merakit senjata, bom, hingga frekuensi radio.
"Dulu saat perang tidak ada alat komunikasi lain selain radio. Saya yang bertugas membuat frekuensi khusus untuk komunikasi antarkelompok muslim. Saya juga yang nge-jam frekuensi TNI dan Polri untuk menyadap operasi mereka," papar pria 40 tahun itu.
Rafiq mengaku terjun ke dunia kombatan karena terdesak kondisi. "Waktu itu tidak ada pilihan. Saya juga tidak punya kesempatan melarikan diri, jadi yang ada harus mempertahankan diri," ujarnya.
Berbekal keahlian dan pengalaman di lapangan, Rafiq banyak terlibat dalam pembuatan senjata. Aco menyebutkan, saat konflik terjadi, Rafiq lebih banyak berperan sebagai "detasemen perlengkapan".
Senjata yang didapatkan dari "perampasan perang" dipelajari, kemudian dibuat replikanya. Keahlian Rafiq pun meningkat sampai bisa membuat bahan peledak. Rafiq menceritakan detail proses pembuatan sebuah bahan peledak sederhana. Namun, dia meminta off-the-record.
Titik balik Rafiq terjadi saat keluar penjara. Menurut dia, vonis enam bulan penjara belum membuat dirinya tercuci. Vonis ringan itu, kata dia, dijatuhkan karena banyak saksi jaksa yang justru meringankannya. Seperti pengakuan saksi ibu-ibu Nasrani yang pernah diselamatkan Rafiq.
"Ketika itu saya memang tetap memegang teguh aturan perang bahwa perempuan, orang tua, dan anak-anak tidak boleh menjadi korban," tegasnya. Selama di penjara, Rafiq melakukan penebusan dosa. Dia menjadi inisiator berdirinya bengkel kerja otomotif dan elektronik. Dari bengkel itu napi muslim dan kristiani bisa belajar bersama.
Sekeluar penjara, Rafiq memilih pensiun sebagai kombatan. Dia sempat mendapatkan pekerjaan sebagai kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Hal itu disebut sebagai upaya deradikalisasi para kombatan.
Namun, pekerjaan tersebut tak dilakoni lama. Pria yang pernah berkuliah di FISIP Universitas Sintuwu Maroso Poso itu memilih berkonsentrasi pada Radio Matahari yang didirikannya. Radio tersebut menjadi semacam proyek idealisme Rafiq untuk meredam konflik yang ketika itu belum padam sepenuhnya.
"Waktu itu memang sudah ada perjanjian Malino. Tapi, konflik horizontal belum reda betul. Misalnya, kalau ada berita kematian warga muslim di wilayah Nasrani, masyarakat sudah menduga-duga itu pembunuhan. Maka dari itu, perlu saluran yang bisa menyejukkan," papar pria kelahiran 30 April 1973 tersebut.
Rafiq mengungkapkan, pada awal berdirinya radio itu, informasi yang disampaikan kadang harus diolah faktanya demi tujuan menyejukkan. Beberapa tokoh agama, baik Islam maupun Kristen, kerap diundang untuk mengudara. Dibahas topik tertentu dan disediakan saluran tanya jawab.
Seiring dengan berjalannya waktu, Radio Matahari tidak hanya menjadi wadah pemersatu kelompok Islam dan Nasrani. Radio itu juga menjadi saluran komunikasi antara warga, polisi, dan pemda. "Sebab, persoalan dengan aparat keamanan ataupun dengan pemda kalau tidak diselesaikan juga rentan menyulut masalah baru," tuturnya.
Pada 2009 pria kelahiran Palu itu membangun kafe. Keberadaan tempat tersebut bukan murni bentuk ekspansi bisnis Rafiq. Tapi juga menjadi tempat berkumpulnya sejumlah elemen. Di tempat itu diselenggarakan diskusi dengan tema-teman tertentu layaknya acara di televisi.
Rafiq mengatakan, pendekatan antara masyarakat dan polisi perlu dilakukan karena konflik memang mulai beralih sasaran. Kelompok-kelompok yang disebut Rafiq belum "orgasme" dalam perang Poso mulai mengalihkan sasaran ke polisi. Polisi yang kerap bertindak represif dinilai sebagai penghambat gerak kelompok-kelompok itu.
Dengan berbagai upaya, Rafiq berusaha mendekatkan hubungan yang tidak harmonis tersebut. Salah satu kejadian yang dicontohkan adalah bagaimana saat Rafiq mendampingi keluarga korban penangkapan Brimob di Desa Kalora, Poso Pesisir. "Alhamdulillah, kasus itu akhirnya semua bisa menerima dengan saling memaafkan," terangnya.
Rafiq, Aco, dan beberapa orang yang cangkruk di Radio Matahari malam itu (12/4) memandang, selama ini ada kesan pihak tertentu memang sengaja menjadikan Poso seolah daerah yang menyeramkan. Tempat teroris bersembunyi dan berkembang biak.
Mereka lantas mencontohkan bagaimana pengemasan isu Santoso sebagai teroris Poso dan buron nomor wahid. "Ibarat sebuah ubin keramik, Santoso itu kelasnya KW 3 (kualitas nomor tiga)," ujar Rafiq yang diamini Aco. Disebut KW 3 karena merujuk peran Santoso yang bukan pemain utama saat terjadi konflik horizontal di Poso.
"Sosok Santoso sekarang ini dibuat seolah-olah sebagai idol. Dikejar tidak pernah dapat dan disebut bersembunyi di Poso. Jadinya ya itu, citra kota ini seolah begitu menyeramkannya," keluh Rafiq.
Aco juga bukan nama sembarangan di kalangan kombatan. Dia pernah ditangkap pada 2003 atas kasus terorisme dan dibui empat tahun. Aco menghuni Lapas Palu dan sempat satu sel bersama teroris yang dihukum mati, Tibo. Sekeluar sel, dia memilih tiarap dengan alasan perintah ustad.
"Mungkin Santoso itu kena pengaruh kelompok yang dari luar Poso. Akhirnya dia tetap melanjutkan aksinya," ujar Aco.
Seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang ikut nimbrung dalam pembicaraan mengatakan, sebenarnya tidak ada lagi konflik agama di Poso. "Kalau ada konflik, tidak mungkin kami bisa berkumpul seperti ini," ucap pengusaha bernama Steven yang juga punya rumah di Pakuwon Indah, Surabaya, itu.
Sebagai pengusaha, Steven menyayangkan kurangnya peran Pemda Poso dalam mengubah citra kota tersebut. "Seharusnya pemda juga ikut berperan mengubah citra Poso. Misalnya dikenalkan melalui pariwisata kota ini yang tak kalah dibanding tempat lain," tuturnya. (*/c9/ca)