Siram Bensin
Oleh Dahlan IskanKushner lupa bahwa para tokoh partai sendiri sedang empot-empotan. Yakni bagaimana mengamankan suara mereka sendiri-sendiri. Baik untuk kursi DPR atau Senat. Mereka lagi sibuk membela diri di dapil masing-masing.
Satu-satunya yang akan mau ''mati bareng Trump'' tampaknya hanya ini: Rudy Giuliani. Rudy adalah pengacara pribadi Trump. Ia mantan wali kota New York yang sangat populer –karena peristiwa 11/9. Ia jadi pahlawan saat itu. Berkat responsnya yang cepat dalam memulihkan New York.
Setelah itu ia mengira telah menjadi pahlawan seluruh Amerika Serikat. Ia pun mencalonkan diri sebagai presiden. Ia tersisih. Bahkan sudah kalah di babak penyisihan di tingkat partai Republik.
Sejak itu ia tidak mau lagi nyapres. Biayanya begitu mahal. Ia pilih menjadi king maker untuk Trump. Juga jadi bampernya. Setiap kali Trump terkena masalah Rudy-lah yang jadi tameng.
Ketika Trump terpilih empat tahun lalu, Rudy ditawari menjadi menteri luar negeri. Ia menolak. Ia pilih terus dekat Trump secara pribadi. Memang banyak orang punya prinsip begini: menjadi teman presiden lebih enak daripada menjadi bawahannya.
Sebagai pembela Trump yang paling depan, Rudy siap membawa urusan pilpres ini ke pengadilan. Pun kalau harus di setiap negara bagian. Terutama yang Trump kalah. Lebih utama lagi di lima negara bagian kunci: Pennsylvania, Arizona, Georgia, Michigan, dan Wisconsin.
Sehari setelah Pemilu pun Rudy sudah berangkat ke Pennsylvania. Bersama tim hukumnya. "Terjadi kecurangan yang masif di Pennsylvania," tulis Rudy di twitter-nya.
Tentu Rudy –sebagaimana Trump dan anak-menantunya– tidak perlu memberikan bukti tuduhannya itu. Sudah dianalisis oleh Twitter bahwa 38 persen isi tweet kelompok Trump ini menyesatkan.