Sistem Noken Dianggap Langgar Hak Konstitusi Rakyat Papua
jpnn.com - JAKARTA - Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, penggunaan Noken dalam tata cara pemilihan umum di Papua, terutama di distrik yang tersebar di pegunungan, sebetulnya sudah tidak relevan. Alasan biaya yang besar, dan geografis yang sulit menurut Siti, hanyalah akal-akalan pemerintah pusat, penyelenggara pemilu, dan pemerintah daerah.
Penggunaan noken kata Siti, sudah dimulai sejak Pemilu pertama di Papua tahun 1971. Sangat ironis ketika di masa reformasi ini noken masih digunakan sebagai tata cara Pemilu. Padahal, penggunaan noken merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan hak konstitusional warga Papua. Ke depan penggunaan noken sudah tidak boleh lagi diberlakukan dalam Pemilu.
"Sulitnya geografis dan mahalnya biaya, pemerintah, KPU, dan Pemda membolehkan noken. Padahal, anggarannya kan sebetulnya sudah disediakan. Memang sudah tidak relevan lagi penggunaan noken di Pemilu. Sejak 1971 sampai sekarang reformasi, masih digunakannya noken itu ironis. Rakyat Papua juga sama dengan rakyat Indonesia lainnya. Ke depan harus tidak boleh, karena itu langgar HAM, dan hak konstitusi rakyat Papua," kata Siti Zuhro, saat dihubungi wartawan, Kamis (14/8).
Persoalannya, lanjut Siti, penggunaan noken dalam Pemilu selalu dibenturkan dengan kearifan lokal. Padahal, itu keliru. Sebab, dalam Pemilu semuanya harus terukur. Bila ada yang tidak terukur, maka akan sangat rawan ada penyimpangan.
"Jangan dibenturkan dengan kearifan lokal karena dalam pemilu itu harus terukur supaya pemilunya tidak kacau balau. Jangan sampai rakyat Papua kembali mengatakan dibodohin terus-menerus," ujar Wiwik, sapaan akrab Siti Zuhro.
Rakyat Papua, ujarnya, haus diberikan sosialiasi yang massif terkait demokrasi partisipatoris. Harus ada perubahan dari menggunakan noken ke memilih one man one vote. KPU harus mendorong sosialiasi tersebut sebagai penyelenggara pemilu. Adapun pemerintah pusat, dan daerah tidak boleh lepas tangan, karena persoalan itu adalah bagian dari tanggung jawab mereka.
"Pemerintah pusat harus alokasikan dana khusus untuk mengedukasi rakyat terkait pendidikan politik sehingga tidak salah pilih dalam menentukan pemimpinya. Pemda juga harus membangun kesadaran, mengedukasi dan mencerahkan masyarakatnya. Di Papua melalui dana otsus bisa dilakukan," sarannya.
Terlebih, lanjut dia masyarakat lokal di sana sudah memberontak dengan penggunaan noken dalam Pemilu.