SKB Menteri Tito, Nadiem dan Yaqut Bisa Bikin Siswi Berperilaku Semaunya
Guna menutup celah bagi interpretasi menyimpang itu, kata Reza, perlu dilakukan perumusan ulang atas pasal 29 ayat 2 UUD. Alternatif lain, kata 'kemerdekaan' perlu diberikan penjelasan tentang seberapa jauh kemerdekaan itu diterapkan dan tidak diterapkan pada subjek anak-anak.
Pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM ini kemudian membahas frasa 'memberikan kebebasan kepada peserta didik' yang tercantum dalam SKB 3 menteri tersebut.
"Meski terkesan indah, namun frasa tersebut bertentangan dengan dinamika psikologis anak itu sendiri. Anak diasumsikan sebagai individu yang belum cukup cakap (kompeten) untuk membuat keputusannya sendiri," tutur Reza.
Lebih jauh, peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia ini mengatakan, UU Perlindungan Anak memang menjamin bahwa anak berhak mengeluarkan pendapatnya.
Namun, katanya, pada saat yang sama tidak ada pasal dalam UU tersebut yang mewajibkan diamininya atau dipenuhinya pendapat anak tersebut.
Konstruksi pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak tersebut menunjukkan bahwa setelah diperhatikan dengan saksama, pendapat anak bisa saja diabaikan sepanjang pengabaian itu justru akan mendukung terealisasinya kepentingan terbaik anak.
"Dengan kata lain, unsur kehendak anak bisa dikesampingkan sepanjang, sekali lagi, pengesampingan itu justru lebih kondusif bagi terpenuhinya kepentingan terbaik anak," tegas Bang Reza.
Dari situ, lanjut Reza, bisa dibayangkan sebuah ilustrasi; ketika anak menyatakan bahwa dia menolak mengenakan busana yang diwajibkan sesuai kaidah agamanya, jika pernyataan anak tersebut dipenuhi, maka itu justru akan menjauhkan anak atau peserta didik dari tercapainya tujuan pendidikan, yakni menjadikan peserta didik sebagai manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.