Spirit Akulturasi Tiongkok-Jawa Menghasilkan Budaya Peranakan
“Konon, ini punya makna, punya filosofi. Yakni untuk membersihkan diri dari segala sengkolo atau hambatan dan persoalan hidup,” ujar Halim.
Halim juga menjelaskan soal Pasar Gang Baru, Pasar Tradisional dan tempat favorit di Pecinan yang direlokasi untuk pemukiman orang Tionghoa sejak tahun 1741 oleh pemerintah kolonial Belanda. Dulu mereka berada di Simongan, dekat Sam Poo Kong.
Namun, mereka dipindahkan ke satu wilayah yang dekat Kota Lama, markasnya Belanda, agar mudah memantaunya. “Sampai sekarang pasar Gang Baru ini menjadi pasar tradisional paling hidup budayanya,” kata Halim.
Segala masakan yang berbasis Tiongkok pun banyak ditemukan di sini. Seperti leonpia atau dalam sebutan Jawa dilafal lumpia. Ada kue moci, wingko babad, dan banyak makanan khas yang berasal dari Tiongkok.
“Sekarang penjual dan pembelinya lebih banyak orang Semarang, berbaur dalam satu budaya di sana,” kata dia.
Halim juga melihat akulturasi kuat di kesenian, seperti liong dan barongsai yang selalu tampil bersama dalam satu panggung dengan Warak Ngendok. Warak itu, simbul akulturasi, patung binatang berkepala singa (Tiongkok), berleher panjang (Arab) dan bertubuh seperti kambing (Jawa).
Itulah tiga kebudayaan yang memengaruhi Kota Semarang dengan sangat kental. “Dan itu hanya keluar saat sebelum bulan puasa tiba, diarak dalam sebuah karnaval juga sampai ke Masjid Alun-Alun Pasar Johar,” kata Halim yang juga pemilik Sekolah Karang Turi, Semarang itu.
Setiap malam Minggu dan Minggu malam, juga ada street food sepanjang jalan di kamping Pecinan Semarang. Semua jenis makanan ada, dan rasanya original semua, enak-enak.