Suka Kunjungi Negara yang Dimusuhi Amerika dan Eropa
Minggu, 06 Maret 2011 – 07:06 WIB
Menurut pria yang 10 tahun silam memeluk Islam itu, di negara-negara konflik justru banyak tersembunyi tempat eksotis. Spot wisata tersebut terkubur kesan angker yang diembuskan negara-negara Eropa dan AS. Melalui buku dan tulisannya, Anton membuka tabir dan mengoreksi travel warning. Tulisannya mendalam dan objektif karena rata-rata dua hingga empat kali dia mengunjungi negara yang sama dalam kurun waktu berbeda sejak 20 tahun terakhir.
Dalam satu dekade belakangan, kata dia, kesan orisinalitas bangsa dunia telah luntur. Dampak globalisasi dan modernisasi telah menyentuh pedalaman Afrika, Timur Tengah, serta Asia. Afghanistan dan Pakistan, misalnya, bukan lagi negara Islam layaknya 10 tahun silam. Warga di sana, lanjut Anton, sangat materialistis setelah listrik, internet, dan telepon seluler menjamur. Semakin banyak yang mahir berbahasa Inggris dan kerap menaikkan harga jika bertemu turis kulit putih. "Sedikit-sedikit dollar Mister, dollar Mister... Mereka kini menyembah uang," ungkapnya lantas tersenyum kecut.
Ironisnya, di negara-negara Islam itu mulai banyak berdiri kafe, supermarket, dan bar. Penduduk kini bisa mengonsumsi bir secara bebas menirukan budaya Barat. Di Tajikistan Timur misalnya, pada 1999"2001, siapa saja bisa masuk tanpa visa. Turis cukup membayar dengan tembakau atau beberapa belas dolar saja.