Sulitnya (Punya) Anak Superpandai
Oleh Dahlan Iskanjpnn.com - Umur Audrey baru empat tahun. Saat itu. Tapi pertanyaannya setinggi filosof: Ke mana perginya rasa bahagia? Atau: Apa arti kehidupan?
Pertanyaan seperti itu membuat orang tuanya kewalahan. Begitu sering dia tanyakan. Dan tidak ada jawaban. Gurunya belingsatan. Lingkungannya jengkel.
Di mata mereka, Audrey-cilik tetap dianggap bocah ingusan. Tidak pantas bertanya seperti itu. Bahkan, ada yang menganggapnya mengidap kelainan jiwa.
Kalangan dewasa menganggapnya tidak normal. Teman sebaya menganggapnya aneh sendiri. Harus dijauhi. Tidak bisa diajak berteman. Harus dikucilkan.
Situasi lingkungan seperti itu membuat Audrey menderita. Padahal, dia merasa normal. Semua pelajaran bisa dia ikuti dengan baik. Sangat baik. Bahkan istimewa. Semua bisa dia jawab. Bahkan yang belum ditanyakan sekali pun.
Tapi, dia merasa terasing. Di rumahnya, di sekolahnya, di pergaulannya, dan juga di gerejanya. Di rumah, dia selalu dimarahi. Di sekolah selalu di-bully. Di pergaulan ibunya selalu jadi bahan gunjingan.
Orang tuanya, terutama ibunya, kian jengkel. Yakni saat Audrey melanjutkan pertanyaan ’’arti kehidupan’’ itu. Dengan pertanyaan yang lebih sulit dijawab: Mengapa ada orang miskin dan miskin sekali? Sampai harus menjadi pemulung. Atau gelandangan. Anak kecil yang tambah menjengkelkan.
Ketika sudah di sekolah dasar dia ngotot ingin ke tempat sampah. Mencari pemulung. Ingin membantu. Ingin melakukan seperti yang disebut dalam Pancasila. Khususnya sila kelima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.