Surakarta Minta Daerah Istimewa
jpnn.com - JAKARTA - Kekuatan untuk merealisasikan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) melalui jalur hukum bertambah. Konflik kepentingan internal di keraton yang saat ini menjadi bagian dari provinsi Jawa Tengah itu semakin tinggi sehingga dibutuhkan campur tangan pemerintah pusat agar terhindar dari potensi perpecahan dan pada akhirnya punah.
Perjuangan untuk mewujudkan DIS itu saat ini ditempuh melalui pengujian Undang Undang (UU) nomor 10 tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Djawa Tengah. Dua pihak mengajukan bersama. Dari pihak darah biru atas nama dua pewaris keraton Surakarta yaitu Gusti Ayu Koes Isbandiyah dan Kanjeng Pangeran Eddy S Wirabhumi.
Sementara dari pihak abdi dalem keraton Surakarta gugatan diajukan oleh anggota Lembaga Hukum Keraton Surakarta atas nama Boyamin Saiman dan kawan kawan. Sidang lanjutan di gedung MK kemarin suasana sangat sepi. Boyamin hadir sendiri berhadapan dengan tiga majelis hakim yang terdiri atas Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Maria Farida Indarti. "Mohon maaf situasi di sana (Surakarta) tidak memungkinkan karena ada kejadian seperti kita ketahui bersama. Sehingga hanya saya yang bisa hadir," kata Boyamin kepada majelis MK dalam persidangan, kemarin.
Majelis menyampaikan keprihatinan dan berharap persoalan di keraton Surakarta segera bisa diselesaikan. "Justru bagi saya kejadian di sana jadi momentum bahwa memang keinginan menjadikan Surakarta sebagai Daerah Istimewa itu bukan tanpa alasan. Selain factor sejarah, kondisi saat ini memang begitu, membutuhkan peran langsung pemerintah pusat dan itu bisa dilakukan jika ditetapkan sebagai DIS," kata Boyamin, usai sidang.
Untuk mencegah konflik berlanjut, kata dia, Negara harus tegas mengakui dan menghormati keraton Surakarta dalam bentuk penghidupan kembali DIS. "Sejarah konflik Keraton Surakarta sudah dimulai sejak zaman Pakubuwono II di Kartasura tahun 1740 - 1742 karena perebutan kekuasaan akibat diadudomba Belanda," kisahnya.
Surakarta, kata Boyamin, sangat membutuhkan peran pemerintah pusat agar keberadaannya bisa tetap berlanjut. "Kalau Negara tidak memasukkan Keraton Surakarta dalam pemerintahan seperti Yogyakarta maka konflik berkepanjangan akan menghancurkan keberadaan Keraton itu sendiri. Di sisi lain, keraton lestari tanggungjawab semua pihak terutama negara," pikirnya.
Menyinggung konflik yang terjadi saat ini, Boyamin menjelaskan bahwa keributan melibatkan tiga kubu. Pertama kubu Dewan Adat yang menghendaki kekuasaan tidak berpusat pada raja dengan alasan mengikuti kemajuan zaman. Kubu kedua, Tejowulan yang pernah menobatkan dirinya sebagai raja, sekarang menghendaki menjadi wakil raja dan perdana menteri. Kubu ketiga raja Hangabehi dan permaisurinya sekarang menginginkan kekuasaan mutlak pada raja dan diteruskan keturunannya. "Saya mengikuti perkembangan dari detik ke detik, tahu persis kondisi di sana," akunya.
Meski begitu Boyamin membantah kabar adanya penyanderaan terhadap raja keraton Surakarta saat ini. Kronologisnya, raja tinggal di kediamannya, Sasana Narendra sejak lama. Anak perempuannya, Rumbai, bersama adik raja, Koes Isbandiyah kemudian bermaksud menemui dan menghadap raja. "Tapi tidak dibukakan pintu, malah dikunci dari dalam. Terus rombongan itu menunggu di depan pintu sampai sore tapi raja tetap tidak keluar. Jadi tidak ada sandera," ungkapnya.