Tak Sesuai Prosedur, Sadapan KPK Tidak Sah Jadi Bukti
jpnn.com, JAKARTA - Hasil sadapan KPK yang menjadi alat bukti dalam perkara advokat Lucas dipertanyakan legalitasnya. Pasalnya, proses penyadapan dinilai melanggar prosedur.
Pakar hukum pidana dari UII Muzakkir mengatakan, penyadapan yang dilakukan penegak hukum, harus berkaitan dengan perbuatan atau dugaan perbuatan pidana. Oleh karena itu, jika proses penyadapan dilakukan sebelum ada penyelidikan, maka bukti sadapan itu tidak bisa dimajukan dalam persidangan.
"Itu menjadi dasar sebagai alat bukti. Kalau tidak berarti prosedur rekaman itu tidak sah," ujarnya kepada media usai menjadi saksi ahli dalam sidang perkara Lucas di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (21/2).
"Jadi, setiap orang warga negara Indonesia tidak boleh ditongkrongi oleh rekaman yang berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Jelasnya, tidak boleh tindakan penyadapan mencari-cari kesalahan orang selama berbulan-bulan. Perkaranya harus ada dulu, baru ada pengumpulan bukti dari penyadapan," katanya.
Untuk diketahui, rekaman percakapan yang diduga melibatkan Lucas terjadi pada 2016 lalu. Bukti rekaman itu sebenarnya digunakan KPK untuk proses penyidikan Eddy Sindoro. Sprindik terhadap Lucas sendiri baru diterbitkan pada 1 Oktober 2018.
"Kalau itu yang terjadi, penyadapan itu bersifat melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang. Kalau misalnya di sidang ini, pengadilan harus dibuktikan sadap sah atau tidak, sadap kapan? Sudah ada sprindik belum? Kalau tidak maka tidak bisa digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan pidana," tegas Muzakkir.
Muzakkir juga menegaskan pentingnya memastikan orisinalitas alat bukti, terutama alat bukti digital yang rentan direkayasa. Sebab, hal itu menentukan adanya kekuatan pembuktian yang sah dan primer atau tidak. Kalau tidak ada jaminan derajat pembuktian bisa jatuh.
Keorisinalitasan alat bukti itu yang dijadikan dasar membangun keyakinan hakim. Jika bukti diragukan karena orisinalitas prosedur, hakim tidak boleh mendasarkan pada alat bukti itu. Sebab, alat bukti itu tidak memiliki kekuatan pembuktian."Kalau ragu-ragu ya putusannya harus membebaskan terdakwa. Karena hakim bertanggung jawab pada Tuhan Yang Maha Esa," tegasnya.